Yayasan Tifa: Bencana Ekologis di Aceh, Sumut dan Sumbar adalah Pelanggaran HAM Struktural

Thursday, 11 December 2025 | 08:54 Wita - Editor: Agung Eka -

JAKARTA, GOSULSEL.COM — Yayasan Tifa menyampaikan duka cita yang mendalam atas bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), yang telah merenggut ratusan nyawa dan menyebabkan kerugian ekologis serta ekonomi yang tak ternilai.

“Tragedi ini adalah sebuah bencana ekologis yang merupakan perpaduan antara krisis iklim dan kerusakan alam di tingkat lokal,” ujar Program Officer Natural Resources and Climate Justice Yayasan Tifa, Firdaus Cahyadi melalui keterangan resminya, Kamis (11/12/2025).

“Bencana ekologi itu berakar dari kebijakan politik nasional yang menciptakan tata kelola lingkungan yang eksploitatif,”

PT-Vale

Yayasan Tifa, lanjut Firdaus Cahyadi, menilai bahwa banjir ini adalah manifestasi nyata dari krisis ekologi dan keadilan spasial yang didorong oleh kepentingan bisnis-politik. Bencana ekologi di Aceh, Sumut dan Sumbar menunjukkan korelasi kuat antara peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dengan deforestasi masif di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumatera,

“Perizinan di sektor kehutanan, pertambangan, dan perluasan perkebunan skala besar telah menghancurkan benteng ekologis alami, menghilangkan fungsi hutan sebagai penyerap dan penahan air,” tegasnya. “Ini adalah persoalan kekeliruan dalam penataan ruang,”

Menurut Firdaus Cahyadi, kebijakan tata ruang yang memprioritaskan konversi lahan dan investasi ekstraktif di kawasan rawan bencana atau lindung, telah menciptakan kerentanan struktural bagi masyarakat yang tinggal di wilayah hilir. “Hal ini adalah bukti kegagalan negara dalam menjalankan amanat konstitusi untuk menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat,” jelasnya.

Di sisi lain, Program Officer Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi Zico Mulia mengungkapkan bahwa bencana ekologi di Aceh, Sumut dan Sumbar merupakan bentuk pelanggaran HAM. “Korban jiwa yang berjatuhan dan hilangnya tempat tinggal merupakan yang juga karena faktor kerusakan lingkungan yang difasilitasi oleh negara adalah bentuk pelanggaran HAM,” jelasnya.

“Hak masyarakat jelas terlanggar ketika kebijakan negara merusak ekosistem lingkungan hidup sebagai penopang kehidupan, yang pada akhirnya mengakibatkan hilangnya nyawa, rusaknya kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat, hingga hilangnya tempat tinggal masyarakat,”

Khusus untuk Aceh yang baru saja merayakan peringatan 20 Tahun Perdamaian setelah perjanjian damai dengan penandatangan MoU Helsinki pada Agustus 2005. Yayasan Tifa yang mendukung kerja-kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dan organisasi masyarakat sipil di Aceh, telah menghasilkan laporan temuan dan rekomendasi pemulihan atas korban pelanggaran berat HAM selama masa konflik.

“Ada lebih dari 5000 korban dan keluarga dari 14 kabupaten yang telah bersaksi selama periode 2018-2021 dan direkomendasikan untuk mendapat pemulihan dari negara, namun kini kehilangan anggota keluarga dan kerabat akibat bencana dan kerusakan lingkungan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Zico Mulia menambahkan bahwa korban bencana tidak hanya berhak atas bantuan darurat tapi juga pemulihan dan keadilan akibat kebijakan dan pembiaran oleh negara atas tindakan kelompok atau korporasi yang merusak lingkungan melalui penebangan liar dan alih fungsi lahan demi kepentingan mereka mengakibatkan hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan hingga pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi masyarakat sekitar terlanggar.

“Korban bencana ekologis juga berhak atas pemulihan (remedy) yang komprehensif dari mulai ekonomi, sosial dan budaya,” tambahnya. “Korban juga berhak atas keadilan melalui penegakan hukum terhadap korporasi atau pejabat yang terbukti lalai atau terlibat dalam perusakan lingkungan.”

Terkait dengan itulah, menurut Firdaus Cahyadi, Yayasan Tifa mendesak Pemerintah Pusat dan Daerah untuk segera melakukan audit lingkungan dan perizinan secara menyeluruh terhadap seluruh konsesi yang berada di DAS dan kawasan hulu.

“Segera tetapkan moratorium permanen terhadap perizinan baru dan cabut izin-izin yang terbukti menjadi pemicu kerusakan ekologis,” jelasnya.

“Selain itu, aparat penegak hukum harus melakukan proses hukum secara transparan dan tegas terhadap korporasi dan/atau oknum pejabat yang bertanggung jawab atas deforestasi dan kerusakan lingkungan yang berujung pada bencana.”

Sementara dari sisi HAM, Zico Mulia mengungkapkan bahwa pemerintah pusat maupun daerah harus memperhatikan aspirasi dan kebutuhan korban dalam melakukan respon terhadap bencana.

“Pastikan pemenuhan hak dasar korban secara menyeluruh dan adil, termasuk kebutuhan pangan, kesehatan, hunian sementara yang layak, pendidikan bagi anak-anak dan dan dukungan psikososial sesuai amanat konstusi dan UUD 1945 serta dan instrument HAM nasional dan internasional,” ujarnya.

“Selain itu, libatkan partisipasi korban, komunitas lokal dan organisasi masyarakat sipil dalam proses perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.”

Pelanggaran HAM oleh negara baik lewat kebijakan atau pembiaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan sudah terjadi secara masif dan terus berulang. Pentingnya upaya penegakan keadilan dan pengungkapan kebenaran secara transparan akan memutus impunitas, memulihkan hak-hak korban dan mencegah keberulangan di masa depan.

Yayasan Tifa menilai bahwa bencana ini adalah pesan bahwa alam telah kehabisan batas resiliensinya. “Negara harus berhenti menjadi fasilitator bagi perusak lingkungan dan segera kembali ke rel konstitusional,” pungkas Firdaus Cahyadi. (*)


Tags:
logo-gosulsel

© 2017 PT Gowa Media Utama, Semua hak dilindungi.