Suriadi Mappangara, Perjanjian Bungaya, Perang Bone, Perang Somba Opu, Perang Buton, Perang Somba Opu II, VOC, Kerajaan Gowa, Sultan Abdul Khair Sirajuddin, Sultan Bima, Hanta Ua Pua
Ilustrasi Perjanjian Bungaya. (Ilustrasi: buihkata.blogspot.com)

Perjanjian Bungaya & Kisah Raja Bima yang Terpinggirkan

Selasa, 22 Desember 2015 | 13:51 Wita - Editor: Nilam Indahsari - Reporter: Andi Dahrul Mahfud - GoSulsel.com

Perjanjian ini kemudian ditentang oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin beserta karaeng-karaeng di Makassar. Mereka tetap pada pendirian untuk memerangi Kompeni sampai titik darah penghabisan.

Pada malam jelang perundingan Bungaya dilaksanakan, Sultan Bima menolak dan memilih untuk kembali ke kampung asalnya. Baginya, menandatangani perjanjian Bungaya sama dengan menyerahkan diri secara konyol dan jadi tahanan bui kompeni. Ia dan Karaeng Bontomarannu terus mengacaukan suasana di laut dengan menenggelamkan dan merampas isi kapal-kapal kompeni.

Dalam pelariannya dari Makassar, Abdul Khair Sirajuddin dan Karaeng Bontomarannu kembali memperkuat Armada Laut Bima yang bernama Pabise. Untuk mengenang  kehebatan Pabise, di depan Asi Mbojo (Istana Bima) terdapat sebuah tiang kapal yang saat ini sudah patah bagian atasnya. Dan Nama Karaeng Bontomarannu inilah yang jadi cikal bakal penamaan nama Kampung Bontomarannu di Bima.

Sultan Abdul Khair Sirajuddin berhasil mengantarkan Kesultanan Bima ke dalam lintasan sejarah Nusantara Timur dan sejarah Indonesia. Kesultanan Bima turut mewarnai sejarah pada zamannya, karena itu ia diakui oleh kawan maupun lawan.

Di samping kehebatannya dalam berperang, Abdul Khair Sirajuddin juga memiliki jiwa seni yang tinggi. Banyak sekali kreasi seni tradisional yang diciptakannya seperti Tari Lenggo, Kuntao, dan lain-lain, termasuk upacara adat Hanta Ua Pua yang kini tetap dilaksanakan oleh Majelis Adat Dana Mbojo.

Halaman: