Di Warkop Kita, Tengkulak dan Nelayan Paotere Menentukan Harga Ikan
Makassar, GoSulsel.com – Warung kopi (Warkop) tidak hanya jadi tempat menyeruput kopi, menikmati kudapan, lalu mangkal tanpa arti. Warkop sejak lama menjadi ruang sosial dimana beragam tema pembicaraan dibahas bebas, santai tanpa tendensi hirarki yang ketat. Maka tidak mengherankan bila kata “Ngopi”, kini, bukan hanya bermakna duduk sambil menikmati secangkir kopi semata.
Dengan begitu banyaknya warung kopi di Kota Makassar, tak heran bila kota Anging Mammiri juga berjuluk kota “Seribu Warkop”. Julukan itu berpijak pada kenyataan bahwa warung kopi dengan mudah ditemui di banyak sudut kota Makassar. Segmentasinya pun bermacam-macam dengan rasa dan harga yang juga variatif. Bahkan, pemangkal Warkop di kota Makassar telah mahfum bahwa masing-masing warkop memiliki peruntukannya sendiri.
Pada liputan khusus Warkop di Makassar, tim GoSulsel.com pertama-tama menyambangi Warung Kopi Kita di Tempat Pelelangan Ikan Paotere, Jalan Sabutung, Makassar, Senin (19/10/2016). Warkop ini dirintis oleh H. Muhammad Nur yang kini telah berpindah tangan ke generasi kedua, yakni anak dan menantunya, Ibu Arnida.
“Sudah lama ada di sini. Dulu orang tuanya yang punya. Sekarang dia yang lanjut,” ujar penjaga warung kopi yang juga menantu dari pemiliknya, Arnida, kepada GoSulsel.com.
Warung kopi ini merupakan langganan nelayan yang saban dinihari berlabuh di dermaga Paotere dengan membawa berton-ton tangkapan hasil laut. Sesaat setelah kapal ikan bersandar di Pelabuhan Paotere, para nelayan pun berbondong-bondong menuju Warkop Kita, mencari seseduh kopi hangat di subuh hari nan dingin.
“Dari jam 5 sudah ramai mi. Jam-jam 10 juga ramai. Kalau siang-siang biasanya pegawai-pegawai yang minum kopi di sini,” ujar Arnida.
Di Warkop Kita, para nelayan akan bertemu dengan beberapa bos tengkulak, pembicaraan dimulai dengan bertukar cerita remeh temeh lalu diakhiri dengan deal harga ikan tiap karanjeng (keranjang). Karanjeng-karanjeng ikan yang telah terjual, lalu diangkut turun dari kapal oleh beberapa penjual ikan yang juga anak buah dari bos tengkulak tadi.
Nelayan pemilik kapal dan bos tengkulak masih tetap duduk manis di Warkop Kita, melanjutkan pembicaraan ke hal-hal lain bersama cangkir ukuran sedang berisi kopi susu yang diseruput pelan. Saking pelannya, kopi susu itu belum juga habis setelah beberapa jam. Tentu saja, Arnida tidak lupa menyediakan kue-kue tradisional macam pisang goreng dan onde-onde yang jadi teman ngopi di pagi itu.
Yang unik dari Warkop Kita yaitu patokan harganya yang berbeda untuk nelayan dengan pembeli lainnya. Nelayan diberikan harga khusus di sini. Untuk segelas kopi hitam, nelayan dapat menikmatinya dengan harga Rp 2.000, sedangkan kopi susu Rp 3.000. Bagi pembeli selain nelayan dipatok harga Rp 6.000 dengan gelas yang sedikit lebih besar. Gorengan dan kue-kue relatif murah seharga Rp. 1.000.(*)