Kopel Sulawesi

Kopel Indonesia: Polemik UU Pemilu di DPR RI Berpengaruh ke Daerah

Jumat, 21 Juli 2017 | 20:26 Wita - Editor: Baharuddin - Reporter: Muhammad Fardi - GoSulsel.com

Makassar, GoSulsel.com – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Undang-Undang Pemilu malam kemarin. DPR RI mengesahkan opsi A dari lima 5 opsi masalah krusial RUU Pemilu.

Opsi A yang juga sesuai diajukan oleh pemerintah, yakni terdiri dari sistem pemilu terbuka presidential threshold 20-25 persen, ambang batas parlemen 4 persen, metode konversi suara sainte lague murni, dan kursi dapil 3-10.

pt-vale-indonesia

Namun tidak semua fraksi menerima keputusan tersebut. Perdebatan yang tidak berujung pada musyawarah mufakat membuat empat fraksi walk out (WO), yakni yaitu Fraksi Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi PAN, dan Fraksi Demokrat. ke empat fraksi inipun dipastikan akan melayangkan gugatan penolakan ke Mahkama Konstitusi.

Menggapi hal itu, Direktur Komite Pamantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Syamsuddin Alimsyah memastikan, polemik di DPR RI ini akan berpengaruh dengan Pileg yang akan terjadi daerah. pasalnya dalam UU Pemilu ini juga diatur soal penetapan daerah pemilihan (dapil) yang terlampir alam RUU.

“Dan itu belum clear sampai sekarang. Kita belum tahu konsepnya seperti apa karena akses dokumen. Dapil yang ditenturakan adalah untuk kursi DPRD dan Provinsi. Dan boleh jadi posisi dapil yang ada selama ini itu akan berubah. Apalagi jatah kursi DPR RI Sulsel sebenarnya berlebih selama ini,” Kata Syamsudin Alimsyah, saat dikonfirmasi GoSulsel.com, pada Jumat (21/7/2017).

Lebih lanjut dia menegaskan menegaskan bahwa UU Pemilu ini sudah terlalu lama dan sangat terlambat. Pihanya menyayangkan lantaran jika mengacu dari tahapan Pemilu, seharusnya 22 bulan maka sejatinya ditetapkan sejak April 2017 lalu.

“Sekarang ini waktu tinggal 18 bulan efektif. Kedua sangat disayangkan karena terlambatnya penetapan juga tidak mempengaruhi kualitas pembahasan. Bahkan kelihatan selama proses di tingkat Panja (Panitia Kerja) dan Pansus (Panitia Khusus) perdebatan yang menegemuka hanya dominan kepentingan Parpol bagaimana berkuasa terus dan mengerus uang rakyat,” tegasnya.

Hal ini bukan tanpa alasan, Syam sapaan akrabnya menjelaskan bahwa jika dilihat dari isu-isu krusial, justru bagaimana anggota DPR bisa menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) dengan mengusulkan dana saksi pemilu harus ditanggung APBN yang seharusnya menjadi tanggung jawab Parpol sendiri.

“Meski akhirnya dicoret tapi Pansus tetap ngotot ada biaya pelatihan saksi dari APBN.
Isu lain yang fatal adalah soal presidential threshold 20 persen dan atau 25 persen suara sah nasional. Ini yg paling ironi karena dipaksakan yang sesungguhnya melanggar konstitusi. Bagaimàna mungkin ada presidential threshold sememtara pemilunya serentak,” tegasnya.

Tidak hanya itu, menurut Syam beberapa isu lain sebaliknya nyaris tidak masuk dalam perdebatan panjang. Seperti partisipasi publik dalam Pemilu, jaminan pengamaman suara pemilu. “Bahkan soal DPD yang juga lembaga negara justru dilupakan sama sekali,” sambungnya.(*)


BACA JUGA