Ilustrasi partai
Ilustrasi

Membongkar Motif di Balik Sikap Kontroversial PSI Tolak Poligami

Jumat, 14 Desember 2018 | 22:15 Wita - Editor: Andi Nita Purnama - Reporter: Muhammad Fardi - GoSulsel.com

Dikonfirmasi terpisah, Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Priyanto menilai, gagasan PSI terkait anti poligami ini sangat sensitif di tengah euforia populisme kanan.

“Di segmen pemilih tradisional, Caleg PSI bisa saja dirugikan dari isu ini,” terang Luhur.

pt-vale-indonesia

Selain itu, Luhur mengatakan, sebagai sebuah gagasan politis, memang banyak yang menolak gagasan partai besutan Grace Natalie ini.

“Karena faktanya, beberapa regulasi di level Undang-Undang maupun PP tetap mengakomodasi muatan Syariah. Seperti UU Perkawinan dan PP Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS,” jelasnya.

Meski demikian, lanjut Luhur, PSI yang tergolong sebagai partai baru memang harus punya diferensiasi isu dan gagasan kepada pemilih. Sikap PSI yang anti poligami merupakan aktualisasi salah satu nilai utama mereka, yakni non-diskriminasi.

“Nilai non-diskriminasi mungkin dimaknai sebagai proteksi perempuan dari ancaman diskriminasi, sesuatu yang sudah diatur hukum agama tertentu dan juga dalam hukum positif kita,” jelasnya.

Bisa Jadi Bumerang Jika Tidak Dikelola Dengan Baik

Sikap politik PSI yang seolah menantang pluralisme ini bisa saja menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan baik. Hal ini dikatakan oleh pengamat politik dari Universitas Bosowa Makassar, Arief Wicaksono.

“Kalau tidak dikelola dengan baik, wacana ini bisa jadi bumerang bagi PSI karena sudah terlanjur mendukung Jokowi-Ma’ruf,” kata Arief.

Dia melanjutkan, manuver PSI sebagai partai baru, seperti menantang poligami, atau seperti yang sebelumnya, menentang pemberlakuan Perda Syariah, tidak bisa dilihat sebagai peristiwa yang sederhana seperti mencari simpati jelang Pileg.

“Fenomena itu kompleks, karena PSI merupakan pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf yang nota bene justru merupakan hasil kompromi antara kehendak kubu nasionalis dalam meraih simpati/kerjasama dari kubu religius yang identik dengan pasangan Prabowo-Sandi,” ujarnya.

Lebih jauh, kata dia penolakan terhadap  wacana-wacana perda syariah atau poligami oleh PSI itu sebenarnya penolakan atas perilaku elit-elit religius Indonesia yang justru mempraktekkan keduanya, dalam artian melaksanakan syariah dan juga poligami, yang dibungkus oleh nilai-nilai ideal yang diperjuangkan PSI sebagai parpol, misalnya multikulturalisme.

“Jadi sambil menolak ini dan itu, secara strategis PSI membuka peluang untuk mengkampanyekan nilai-nilai politik yang mereka usung,” jelasnya.

Berbeda dengan Arief, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Syahrier Karim menilai bahwa isu poligami oleh PSI ini murni hanya mau menarik simpati pemilih, khususnya kaum perempuan. Hanya saja dia juga berpendapat jika tidak dikelola dengan baik maka akan jadi bumerang.

“Bahwa apakah nanti gagasan ini akan diperjuangkan, itu persoalan belakang. Ini murni hanya strategi politik saja dan ini sangat strategis, karena PSI akan mempunyai branding, yakni partainya anak muda sekaligus partai yang anti poligami,” ucap dia.

“Dalam teori marketing politik, branding politik itu penting dalam meningkatkan elektoral partai,” demikian Syahrir.(*)

Halaman:

BACA JUGA