Perspektif Sosiologi Kasus Prostitusi
MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Belum cukup sepekan, pemberitaan prostitusi online telah menyita perhatian khalayak. Berbagai macam pandangan dan asumsi dipergunjingkan.
Beragam tindakan secara sosial pun bermunculan, terlebih kasus ini melibatkan tokoh utama yang berprofesi sebagai artis. Baru-baru ini terungkap VA sebagai lakon utamanya. Terlepas dari penetapan saksi ataupun korban pada sang artis, nyatanya di dunia nyata ada yang mencaci, ada pula yang sebaliknya. Semuanya terpapar dalam pemberitaan di media.
Untuk itu, demi melihat masalah dari perspektif yang tepat, Gosulsel.com mengkonfirmasi peristiwa ini langsung kepada Nuvida R.A.F., dosen sosiologi bidang keahlian wanita dan keluarga Universitas Hasanuddin (Unhas) tersebut melihat besarnya tuntutan hidup sebagai akar masalah dalam kasus prostitusi artis. Kasus VA, dipandangnya sebagai korban gaya hidup.
“Kita sama-sama tahu dunia entertainment itu dunia yang penuh kemewahan. Sebagaimana prinsip ekonomi ada demand ada supply,” Kata Nuvida.
Prostitusi artis bukanlah hal baru. Bahkan dinilai telah menjadi bagian dari high class. Sementara itu, pada dasarnya manusia selalu ingin diakui secara sosial maupun politik. Tiap kelas sosial mempunyai gaya hidup yang berbeda. Dorongan pembuktian dan penerimaan diri di ruang high class ini dianggap awal prostitusi artis ada.
“Bukan hanya sebagai pembuktian bahwa ia masuk dalam kelas itu tapi juga aspek penerimaan dirinya juga sebagai bagian dari kelasnya. Jadi dari dua sisi konfirmasinya yaitu kelasnya dan diri orang itu,” jelas Nuvida.
Secara sosiologis, strata sosial dilihat dari sisi objektif dan subjektif. Objektifnya yang memang kaya dan subjektifnya yang memang merasa kaya.
Menurut Nuvida, kedua sisi ini menuntut bertemu. Perilaku ini mewujud dalam gaya hidup hedonis demi pembuktian diri. Akhirnya kebanggaan yang diidamkan dalam struktur sosial pun diraih. Alur ini akan terus berulang, sebab kelas sosial tidak akan pernah habis untuk dikejar.
“Tuntutan orang kaya adalah hedonis yang menggoda. Ketika telah terjadi dan berhasil ditunjukkan, ada kebanggan tersendiri kemudian diakui oleh yang lain sebagai bagian dari pernyataan memang orang kaya. Tak heran prostitusi juga berkelas-kelas sesuai dengan penggunanya,” papar Nuvida.
Ditambah lagi faktor perubahan teknologi dalam bidang informasi yang pesat bagi Nuvida semakin mendukung gaya high class ini. Terlebih nilai norma cenderung lambat merespon kecepatan perubahan itu terjadi.
“Keterbukaan, permissiveness, individualistic tumbuh pesat. Tapi di sisi yang lain perubahan budaya dalam arti nilai dan norma masih terjaga, lamban merespon perubahan,” ungkapnya.
Kenyataannya memang kehidupan ekonomi serta tumbuhnya kelas-kelas menengah baru memungkinkan akses teknologi komunikasi akhirnya berbenturan dengan norma yang berlaku. Hingga kini, titik temu itu belum terjadi. Apakah norma yang kalah atau teknologi makin menjadi-jadi tanpa ada kontrol sosial?
Nuvida bahkan menangkap ini sebagai bahaya jika teknologi kemudian mengabaikan norma-norma yang berlaku. Masyarakat Indonesia seperti mengalami shock culture. Mereka yang merasa modern cenderung merasa bebas mengekspresikan diri dengan dalih demokrasi tapi lupa bahwa ia tetap bagian dari masyarakat.
Dunia entertainment seolah menuntut hedonis para pelakunya. Walaupun prostitusi masih jadi bagian yang terlarang secara budaya tapi ia melekat pada strata sosial tertentu.
Prostitusi seperti menawarkan kemudahan dalam finansial dan menggoda mereka yang sudah bergaya hidup mewah. Bisa kita saksikan, di setiap acara artis. Pembicaraan selalu mengarah jumlah harta dan pencapaian materi.
Akibatnya, penekanan pada materialisme lah yang menguat. Eksistensi dilihat dari ketinggian pendapatannya. Mereka yang tidak sabaran dan tidak kuat iman akan cari jalan mudah agar tidak ketinggalan lewat prostitusi.
Lebih lanjut, Nuvida merasa prostitusi artis tak hanya sampai pada persoalan sosial namun juga kebijakan negara.
“Aturan mungkin ada. Hanya saja kadang ketika sepi, penegakan hukum juga melemah. Nanti kalau rame baru kelihatan prostitusi ada,” lanjutnya.
Namun, parahnya tak jarang, Nuvida merasa justru pemangku kebijakan yang menjadi tameng bahkan dalang dalam kasus prostitusi. Jadinya, pemberantasannya begitu sulit dilakukan.
“Back up kegiatan ini pun seringkali orang kuat dalam arti pegang kekuasaan. Jadi pemberantasannya tidak mudah,” pangkas Nuvida.
Karenanya perlu disadari adanya kubu pencaci tanpa solusi ataupun pembela tokoh utama kasus tersebut justru semakin membuat solusi jauh panggang dari api.
Ketimbang solusi, justru polemik berkepanjangan yang termunculkan ke permukaan. Banyak yang mengambil keuntungan dari aktivitas ini, seperti cukongnya, mucikarinya, serta para lelaki hidung belang yang punya duit.
Prostitusi adalah penyakit sosial dari dulu, untuk itu perlu diselesaikan dari hilir hingga ke hulu secara utuh.(*)