Nuryani (34) berpose saat ditemui di tempat kerjanya di di Desa Baruga, Bantimurung, Maros, (10/03/2019).

FOTO: Buruh Perempuan Berkawan Sekop dan Besi Linggis

Kamis, 14 Maret 2019 | 06:42 Wita - Editor: Irwan Idris - Fotografer: Indra Abriyanto - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL.COM —  Setiap orang berhak memilih pekerjaan sesuai keinginan, kesempatan, dan tentu saja, kemampuan masing-masing. Terlepas apakah pekerjaan tersebut lebih lumrah dilakukan laki-laki ketimbang perempuan, karena perbedaan ketahanan otot.

Kami menyajikan potret empat jenis pekerjaan yang dilakoni kaum perempuan yang, pada umumnya lebih banyak dikerjakan oleh laki-laki. Keempat perempuan ini bekerja dengan lebih banyak menggunakan tenaga otot. Dorongan mereka bekerja seragam: karena ingin membantu suami mencukupi kebutuhan dapur dan ongkos pendidikan anak-anak.

pt-vale-indonesia

Nuryani (34) berpose saat ditemui di tempat kerjanya di di Desa Baruga, Bantimurung, Maros, (10/03/2019).

Pagi itu, usai menyiapkan sarapan dan membereskan pekerjaan rumah, Nuryani (34) berjalan kaki menuju kawasan perbukitan batu, tak jauh dari rumahnya di Desa Baruga, Bantimurung. Dia menggenggam sebuah palu bergagang kayu dengan berat sekitar 5 kilogram di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya terdapat sebuah linggis yang panjangnya 1,4 meter. Nuryani mengenakan sarung yang membalut daster selutut, di kakinya hanya ada sendal plastik, sementara kepalanya tertutup topi caping.

Nuryani siap melakoni pekerjaan sehari-hari sebagai pemecah batu gunung. Sengatan terik matahari dan cadasnya bebatuan sudah berkawan dengan Nuryani. Tak ada pilihan lain baginya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dapur harus tetap mengepul, lima orang anaknya harus diberi makan dan ongkos pendidikan. Katanya, pilihan pekerjaan lain tidak dipikirkan lagi olehnya, terlebih lahan pertanian yang dulu kerap digarapnya kian menyusut saat ini.

Penghasilan suaminya, Jumaing (46) tak juga cukup menutupi kebutuhan rumah tangga. Dia memutuskan turut bekerja bersama suami yang juga berprofesi sebagai buruh pemecah batu gunung.

Dari segi fisik, pekerjaan sebagai buruh pemecah batu lebih akrab dengan kaum lelaki, yang memiliki tenaga ekstra. Bagi Nuryani, persoalan jenis kelamin bukan penghalang, pekerjaan mencongkel dan memecah batu gunung pun dijajalnya. Menggunakan palu dan linggis, kedua tangannya menggenggam kuat palu, kemudian mengayunkan palu tersebut ke batu besar yang ingin dipecahkan. Batu yang sudah terkumpul dijual ke konsumen dengan harga Rp.120.000 per mobil truk.

Bekerja selama 9 jam setiap hari, mulai pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore membuat Nuryani lebih banyak menghabiskan waktu di lokasi perbukitan batu. Tidak ada rasa takut sedikit pun ketika Nuryani bekerja di bawah perbukitan batu tersebut, meski kondisi gunung yang biasa dicungkil dan dipecahkan sudah sangat memprihatinkan. Kerap kali, Nuryani mendapati longsor bebatuan karena pengikisan tanah di kaki dan tebing terjadi setiap hari. Bahkan, Nuryani sudah bisa membedakan suara gesekan biasa dari tanah dan bebatuan dan suara gesekan yang menjadi penanda longsor bakalan terjadi.

Nuryani sering meringis dalam hati. Dia tak ingin anak-anaknya kelak menjadi pemecah batu gunung, mengikuti jejak kedua orang tuanya. Harapan besar ditangkupkan dalam doanya, semoga kelak usahanya membanting tulang berbuah kesuksesan untuk pendidikan kelima anak tersayangnya.

Sore itu, saat matahari sudah menukik di ufuk barat, Nuryani kembali ke rumah. Setelah membersihkan diri dan memasak untuk makan malam, Nuryani akhirnya bisa merebahkan tubuh. Di banyak malam sebelum tidur, Dia memegangi otot di lengan kiri-kanannya yang acap kali memerah, kelelahan membanting palu dan menekan linggis. “Apalagi kalau terkena air, nda bisaki’ tidur nyenyak,” ungkapnya.

Halaman:

BACA JUGA