Dosen Studi Gender UIN Alauddin Makassar Kritisi Gerakan Indonesia Tanpa Feminis di Medsos

Sabtu, 06 April 2019 | 16:08 Wita - Editor: Andi Nita Purnama - Reporter: Dila Bahar - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Beberapa bulan terakhir ini, media sosial digegerkan dengan adanya akun Instagram bernama Indonesia Tanpa Feminis, @indonesiatanpafeminis.

Akun Instagram itu dibuat untuk mengampanyekan gerakan melawan paham feminis di Indonesia yang disertai tagar yang menimbulkan kontroversi, baik dari kalangan perempuan dan laki-laki. Seperti #IndonesiaTanpaFeminis dan #UninstallFeminism. 

pt-vale-indonesia

Menanggapi hal ini, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar pengampuh mata kuliah perspektif gender, Rahmawati Latif menilai gerakan tersebut tidak memiliki pondasi yang jelas. Sebelum menyuarakan pendapat dan melakukan gerakan, kata Rahma, seharusnya kaum antifeminis memahami dengan benar apa yang mereka tolak.

“Sebenarnya dia harus paham dulu apa itu gerakan feminisme. Feminisme itu adalah memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Bukan berarti mereka melegalkan LGBT dan perzinaan. Jadi sebenarnya mereka itu gagal paham soal arti feminisme itu sendiri, sehingga begitu metode berpikirnya,” jelas Rahma kepada Gosulsel.com, Sabtu (6/4/2019).

Dosen alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia ini juga menjelaskan, gerakan feminisme merupakan pionir dari negara barat yang disebut dengan istilah gerakan pemberdayaan. Sebab, di negara barat seperti di Amerika saat itu tidak punya akses untuk pendidikan, akses bekerja serta tidak punya hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.

“Akhirnya muncullah gerakan feminisme ini. Dan gerakan feminisme itu sebenarnya memberikan manfaat hingga sekarang. Karena dengan adanya gerakan itu membuat perempuan bisa sekolah sampai S3, bisa bekerja dan punya hak politik,” jelasnya.

Menurutnya, persoalan feminisme tidak perlu dibesar-besarkan karena memang antara feminisme dan ajaran Islam sendiri memiliki benang merah atau titik temu.

“Perempuan nanti akan memegang tiga poin penting: mar’atusholeha (wanita sholehah, saujiah mutiah (taat pada suami), ummu madrasah (sekolah bagi anak-anaknya). Ini kan untuk menjadi tiga peran ini itu harus memiliki ilmu pengetahuan, Jadi salah satu cara mendapatkan ilmu pengetahun adalah mengikuti pendidikan formal,” tegasnya.

Rahma membuka lebih luas berbagai macam bentuk feminisme. Kata dia, feminisme mengandung banyak aliran. Di antaranya feminisme liberal, marxisme, sosialis, eksistensialisme, radikal, ekofeminis, postmodern. 

“Kita tinggal memilih saja yang sesuai dengan kebutuhan kita sebagai perempuan. Karena memang kalau kita melihat aliran itu memang ada beberapa mazhab yang tidak cocok dengan kultur timur,” jelasnya.

Di dalam Islam apakah ada yang namanya feminisme? Menurutnya, istilah feminsime dalam Islam memang tidak ada, namun secara substansi memiliki kesamaan, yaitu pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.

“Kemudian Islam juga memandang bahwa perempuan bisa berkarya, bekerja, sekolah tinggi itu kan artinya Islam memperlakukan perempuan sangat semanusiawi mungkin. Di tambah lagi cerita sirahnya Rasulullah, jadi tidak ada masalah sepanjang tidak keluar dari Alquran dan Assunnah,” tambahnya.

Wacana antifeminis telah mendapatkan daya tarik dalam beberapa bulan terakhir, terutama setelah kontroversi seputar RUU tentang kekerasan seksual.

Mereka yang menentang RUU itu menganggapnya sebagai pro-perzinaan dan mendukung orang-orang LBGT. Namun, Rahma mengatakan, kehadiran RUU tersebut malah berfungsi sebaliknya, yakni melindungi perempuan dari kekerasan seksual.(*)