Bersama Aktivis Lingkungan, Warga Kecam Pembalakan Liar di Kawasan Hutan Mangrove Lantebung
MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Warga mengecam pembalakan liar di Kawasan Hutan Mangrove Lantebung, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar. Mereka dibantu oleh Aktivis Lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Save Spermonde.
Aksi pembalakan yang dilakukan oleh PT Dillah Grup ini dianggap lihai dalam memanfaatkan situasi pembatasan sosial di tengah pandemi Corona untuk menjalankan aksinya. Ratusan pohon mangrove yang diketahui telah berusia puluhan tahun dirobohkan dengan menggunakan Eskavator.
Perwakilan dari Yayasan Blue Forest, Yusran Nurdin mengungkapkan, Hutan Mangrove Lantebung merupakan hasil kerja sama dari berbagai pihak. Sehingga, wajar apabila banyak pihak yang naik pitam dengan kejadian ini.
“Kenapa saya begitu marah ketika lantebung dibuat seperti itu, karena memang ini ancaman kita. Banyak sekali pihak yang masuk ke Lantebung untuk melakukan upaya konservasi dan perlindungan mangrove,” cetusnya dalam konferensi pers secara daring, Selasa (21/04/2020).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin. Ia mengatakan, mangrove di Lantebung merupakan kawasan mangrove terakhir di Kota Makassar yang memiliki fungsi ekologis yang tinggi bagi Kota Makassar terkhusus masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
“Tentu perusakan yang terjadi baru-baru ini menjadi semacam tamparan bagi banyak orang, di mana karya kita, jerih payah kita, dirusak oleh mereka padahal pemerintah kota sudah memberikan ruang yang cukup aman bagi kawasan mangrove di sana,” bebernya.
Lebih lanjut, Amin menjelaskan, di dalam peraturan daerah (Perda) RT/RW Kota Makassar telah dijelaskan mengenai ini. Dimana mangrove di Lantebung masuk dalam kategori perlindungan terbatas.
“Sehingga ketika ada yang melakukan perusakan, itu sudah sangat bertentangan dengan kebijakan pemerintah,” ketusnya.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia yang juga bagian dari Koalisi Save Spermonde, Afdillah turut mengatakan, perusakan kawasan mangrove juga menjadi ancaman bagi Kepulauan Spermonde yang berada di kawasan laut yang membentang dari Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru, Sulsel.
“Ancaman Spermonde tidak hanya dari laut saja. Sebenarnya mangrove yang ada di pesisir Sulawesi Selatan, Barru, Pangkep, Maros dan Makassar sendiri bisa menjadi penyangga kehidupan di Spermonde,” jelasnya.
Perusakan kawasan mangrove menjadi cermin bobroknya pengelolaan hutan mangrove di tanah air. Padahal, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2012 tentang strategi nasional pengelolaan mangrove, berisikan bagaimana pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan.
“Apa yang terjadi hari ini di Makassar dan di banyak tempat bertolak belakang dengan semangat dari pengelolaan mangrove yang berkelanjutan itu sendiri,” lanjutnya.
Dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) tahun 2020-2025, target rehabilitasi mangrove sebesar 50 ribu hektar. Sayangnya, hingga hari ini target itu masih sangat jauh dari harapan.
“Di Jawa 80 persen sudah ga ada lagi mangrovenya, di Jakarta apa lagi, dari 300 hektar mangrove, hanya 99 hektar saja yang baik. Di Sulawesi Selatan juga demikian, data terakhir yang kita dapatkan itu ternyata hanya 18 persen mangrove yang baik dan 82 persennya dalam kondisi buruk,” urainya.
Afdillah pun menyebut kondisi mangrove terus tergerus dengan berbagai ancaman. Mulai dari alih fungsi lahan, dijadikan sebagai tambak, pemukiman, industri, bahkan ada juga untuk reklamasi dan infrastruktur lainnya, seperti jalan dan pelabuhan.
Solusi yang akan ditempuh pun kata dia, tidak akan berhenti sampai penghentian kegiatan pembalakan. Namun akan naik ke tahap penegakan hukum.
“Kalau kejadian di Makassar ini, ini tantangan bagi Spermonde, kita semua resah dengan ini. Ini menjadi perhatian kita bersama. Kita tidak ingin hanya berhenti sampai penghentian kegiatan tapi juga ada penegakan hukum,” tukas Afdillah. (*)