Film Bara Angkat Perjuangan Kakek 77 Tahun Lindungi Hutan Adat di Kalteng
MAKASSAR, GOSULSEL.COM –- Film dokumenter berjudul Bara atau The Flame mengisahkan kisah haru dalam upaya melindungi hutan adat di Kalimantan Tengah (Kalteng). Namanya Iber Djamal, kakek berusia 77 tahun diceritakan sebagai penduduk asli Kalimantan yang mempertaruhkan sepanjang hidupnya untuk mendapatkan hak waris atas hutan adatnya.
The Flame memperlihatkan kehidupan masyarakat adat secara nyata dan membawa penonton untuk ikut merasakan investigasi tentang proses deforestasi di Indonesia. Lalu berujung pada dampak dan kerugian seluruh wilayah di hutan Kalimantan.
“Kami juga berharap dengan adanya kolaborasi film dokumenter “The Flame” dengan Yayasan Dian Sastrowardoyo dan Sejauh Mata Memandang dapat membantu mempercepat dan memperluas edukasi yang akan kami lakukan di berbagai wilayah Indonesia terkait isu krisis iklim dan isu lingkungan hidup, terutama hutan adat yang kian punah,” ungkap Produser Gita Fara.
Melalui film tersebut, para penonton diajak untuk lebih mengetahui isu krisis iklim dan lingkungan hidup. Dan sudah menjadi permasalahan besar di Indonesia.
Film Bara ini ditayangkan secara eksklusif di Makassar, tepatnya di Panakkukang XXI pada Jumat (03/12/2021). Acara nonton dihadiri para tim produksi, pemain, dan juga kolaborator.
Diketahui, The Flame merupakan film dokumenter panjang pertama yang disutradarai oleh Arfan Sabran dan diproduseri oleh Gita Fara. Film ini telah tayang di Vision du Reel Film Festival di Swiss pada April 2021, DMZ International Documentary Film Festival di Korea pada September 2021, BIFED Ecology Film Festival di Turki pada Oktober 2021, dan Jogja NETPAC Asian Film Festival pada November 2021.
Selanjutnya, film dokumenter ini akan tayang perdana di Singapore International Film Festival pada Desember 2021 nanti. Film The Flame juga berhasil meraih nominasi Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik.
“Bagi kami, masyarakat adat, hutan merupakan jantung dan paru-paru kehidupan, yang merupakan bentuk penghormatan kami kepada para leluhur hingga memiliki peran penting untuk keberadaan ekosistem tumbuhan dan binatang yang hidup saling berdampingan,” ungkap Iber Djamal.
“Saya sangat berharap besar kepada penerus saya dan generasi muda di Indonesia untuk mulai membantu perjuangan kami, karena hutan adat adalah identitas kita bersama. Semoga film ini dapat ditonton oleh berbagai pihak dan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, Sutradara Arfan Sabran sangat berharap film dokumenter The Flame bisa membuka mata masyarakat dan menumbuhkan semangat generasi muda. Dan mulai berinisiatif melakukan berbagai hal sederhana dalam melindungi dan melestarikan hutan di Indonesia.
“Kita bisa belajar bersama-sama dari perjalanan hidup Pak Iber Djamal (77 tahun) yang terus berusaha keras untuk mempertahankan hutan adatnya,” ucapnya.
Melalui film ini, tambah dia, ingin juga mengangkat sisi kekeluargaan dari Iber. Bagaimana ia mengajarkan cucunya untuk mengenal ekosistem tumbuhan, binatang hingga barang peninggalan para leluhur adat Kalimantan.
Yayasan Dian Sastrowardoyo (YDS) sebagai organisasi nirlaba dan Sejauh Mata Memandang (SMM) sebagai label tekstil yang memiliki perhatian tinggi pada isu lingkungan hidup. Keduanya pun memiliki visi dan misi yang sama dengan filmmakers “The Flame” dalam mengatasi isu-isu lingkungan, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya memahami arti krisis lingkungan hidup dan iklim yang semakin kritis.
Dengan pemikiran ini pula, ketiganya berkolaborasi di penghujung tahun 2021 melalui film sebagai alat komunikasi untuk melakukan edukasi terhadap berbagai lapisan masyarakat mengenai pentingnya isu ini.
Dian Sastrowardoyo, Aktris, Produser, dan pendiri Yayasan Dian Sastrowardoyo (YDS) mengatakan bahwa Edukasi adalah salah satu pilar utama dari YDS dan penting sekali dipahami bahwa masalah lingkungan hidup, deforestasi hutan, dan perubahan iklim ekstrim itu adalah masalah serius. Sehingga, perlu mencegahnya dengan melakukan tindakan nyata.
“Sayangnya, banyak pihak yang tahu namun belum banyak yang peduli. Bara “The Flame” adalah salah satu contoh alat edukasi yang sangat efektif dan membantu masyarakat untuk mengubah perilaku atau bertindak lebih lanjut hingga menjadi bagian dari solusi,” ucapnya.
“Mulai dari mengajarkan diri kita sendiri dan keluarga mengenai pentingnya arti lingkungan hidup dan melindungi hutan Indonesia. Saya berharap, semoga kolaborasi ini dapat memberikan manfaat baik untuk masa depan hutan di Indonesia,” tambah Dian.
Chitra Subiyakto sebagai pendiri Sejauh Mata Memandang mengatakan bahwa Sejauh Mata Memandang sangat peduli akan masalah dan isu lingkungan hidup, dan sadar akan pentingnya kolaborasi dengan banyak pihak agar dapat menjangkau khalayak yang lebih luas. Menjaga bumi dan menciptakan gaya hidup yang ramah lingkungan adalah salah satu pesan utama dalam berbagai kegiatan dan hal ini juga yang diangkat oleh Film Bara ‘The Flame’.
“Sehingga, kami berkomitmen untuk mendukung penuh film ini dalam konsep kolaborasi. Kami berharap pesan ini akan semakin luas dan banyak orang semakin sadar untuk berbuat sesuatu serta aktif melindungi hutan dan masyarakat adat di Indonesia,” jelasnya.
Film dokumenter “The Flame” berkolaborasi bersama Yayasan Dian Sastrowardoyo dan Sejauh Mata Memandang dengan mengunjungi berbagai kota di Indonesia untuk mengajak masyarakat agar turut serta dalam upaya melindungi lingkungan hutan adat di Indonesia. Diantaranya, di DKI Jakarta, DIY Yogyakarta, Makassar dan Palangkaraya. Film ini juga akan menyapa secara virtual daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh bioskop melalui pemutaran film dan diskusi yang mendalam.
Untuk mengetahui informasi lebih lengkap dan program terbaru, Anda dapat mengunjungi masing-masing instagram @yayasandian, @sejauhmatamemandang, dan @baratheflame Tentang Bara “The Flame” Film The Flame, produksi Abimata Group, Cineria Film, RM Cine Makassar, dan Al Jazeera Documentary Channel merupakan film dokumenter yang berkisah tentang kehidupan nyata seorang pria lanjut usia bernama Iber Djamal sebagai penduduk asli Kalimantan yang mempertaruhkan sepanjang hidupnya untuk mendapatkan hak waris hutan adatnya.
The Flame mengajak penonton untuk memahami makna penting tentang hutan adat yang memiliki arti sebagai simbol kehidupan, keseimbangan, dan kebijaksanaan. Film dokumenter ini tidak hanya menceritakan kisah perjuangan Iber Djamal, namun juga mengangkat cerita hubungan yang berbeda antara hutan adat dan lintas tiga generasi yaitu Iber Djamal, putranya, dan cucunya.
The Flame merupakan film dokumenter panjang pertama yang disutradarai oleh Arfan Sabran dan diproduseri oleh Gita Fara. Film ini telah tayang di Vision du Reel Film Festival di Swiss pada April 2021, DMZ International Documentary Film Festival di Korea pada September 2021, BIFED Ecology Film Festival di Turki pada Oktober 2021, dan The Flame juga akan tayang perdana pada Jogja NETPAC Asian Film Festival 2021 di akhir November ini.
Selanjutnya, film dokumenter ini juga akan tayang di Singapore International Film Festival. Rencananya berlangsung pada bulan Desember ini.(*)