Dewan Soal Pemberhentian Pembangunan Pasar Tempe: Dampak Sosialnya ke Masyarakat
WAJO, GOSULSEL.COM — Pemutusan kontrak yang dilakukan pihak Balai Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR terhadap pembangunan Pasar Tempe Wajo yang dikerjakan PT Delima Agung Utama ternyata memiliki dampak sosial bagi masyarakat. Dan hal itu disesalkan.
Di tengah pandemi Covid-19 yang saat ini melanda membuat ekonomi semakin terpuruk. Seharusnya pembangunan Pasar Tempe yang dinilai bisa membangkitkan ekonomi masyarakat di tengah pandemi malah diputus oleh pihak balai karena alasan administrasi.
Pihak PT Delima Agung Utama yang merasa dirugikan akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah hukum. Dan menggugatnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi III DPRD Wajo, H Mustafa menilai pemutusan kontrak yang dilakukan pihak balai ternyata memiliki dampak sosial di tengah masyarakat. Pendapatan mereka pun tidak ada.
“Masyarakat sangat dirugikan dari segi pemanfaatannya. Karena pembangunan Pasar Tempe Wajo sebagai sektor yang bisa meningkatkan pendapatan masyarakat,” jelasnya kepada awak media saat dihubungi, Jumat (18/2/2022).
Di sisi lain, kata dia, pemutusan kontrak ini membuat pembangunan Pasar Tempe menjadi terbengkalai. Padahal jika dilanjutkan pembangunannya sangat membantu pemulihan ekonomi di tengah pandemi.
“Di tengah pandemi ini kan kita harus bisa bangkit. Terutama pemulihan ekonomi, Pasar Tempe ini salah satunya, masyarakat bisa meningkatkan pendapatan. Terlebih lagi dengan pendapatan Pemerintah Daerah (Pemkab) Wajo,” ungkapnya.
Kata dia, salah sektor yang menjadi andalan dari Pemda Wajo, selain sektor pertanian adalah perdagangan. “Pasar Tempe ini termasuk salah pusat bisnis dalam kota. Setelah ada proyek pekerjaan ini para pedagang dipindahkan ke titik yang kurang ekonomis dan minta masyarakat untuk bersabar karena ada pembangunan pasar,” katanya.
“Tiba-tiba terjadi begini, otomatis para pedagang mengalami hal serupa tidak ada penghasilan. Begitu juga dampak ke daerah, yang notabenenya ada pemasukan dari pasar ke PAD, otomatis saat ini tidak ada,” tambahnya.
Politisi Gerindra ini mengatakan, pihak Komisi III DPRD Wajo pun sempat mendiskusikan hal ini. Itu dengan Pihak Balai Ditjen Cipta Karya Kementrian PUPR.
“Di mana inti masalahnya hanya permasalahan administrasi, berarti pihak balai tidak teliti dan dalam hal ini pelaksana giat harus dari awal dipertimbangkan untuk dilanjutkan. Nah kenapa pada saat pembangunan berjalan baru diputus? Ini kan menjadi tanda tanya besar,” tanyanya.
Apalagi, kata H Mustafa, menurut pihak Balai Ditjen Cipta Karya Kementrian PUPR tidak ada kerugian negara di dalamnya. Bahkan, progres pembangunan juga berjalan dengan baik.
Apalagi, kata dia, pihak PT Delima Agung Utama juga mempekerjakan buruh hingga security dari masyarakat sekitar. “Jadi bijaknya pihak balai harus legowo untuk memberikan ruang kembali pada pihak pemenang dalam hal ini PT DAU (Delima Agung Utama),” tandasnya.
Sebelumnya, Perusahaan PT Delima Agung Utama melayangkan gugatan terhadap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Cipta Karya Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulsel Satuan Kerja Pelaksana Prasarana Permukiman Wilayah II Provinsi Sulsel.
Gugatan yang dilayangkan pihak PT. Delima Agung Utama tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar dengan Nomor Perkara Gugatan 13/G/2022/PTUN.Mks, menyusul soal surat pemutusan kontrak pembangunan proyek pasar Tempe Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Pemutusan kontrak yang dilakukan oleh pihak PPK itu disebut merupakan tindak lanjut dari hasil audit dengan tujuan tertentu (ADTT) Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR melalui surat Inspektur Jenderal Nomor: PW0101-lj/1076 tertanggal 14 September 2021, serta surat Direktur Jenderal Cipta Karya Nomor: PW.0202-Dc/1770 tangal 8 November 2021.
Direktur Utama PT Delima Drajat Winandjar mengatakan gugatan yang dilayangkan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar terkait surat pemutusan Kontrak yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang membuat pihaknya dirugikan.
“Hari ini adalah sidang pertama Dengan agenda persiapan berkas gugatan, yang kami gugat terkait surat pemutusan kontrak yang dikeluarkan oleh PPK kami sangat dirugikan dengan hal ini sebelumnya kami juga telah sampaikan kepihak tergugat bahwa kami akan tempuh jalur hukum,” ucapnya saat ditemui sesuai sidang, Rabu (26/1/2022) lalu.
Kata dia, sejak pemberian pemutusan kontrak tersebut pihaknya hingga saat ini belum pernah diberikan Penjelasan terkait alasan dari pemutusan Kontrak tersebut.
“Sejak saya diberikan surat pemutusan kontrak oleh PPK, materi yang disampaikan untuk memutus kontrak kami tidak pernah disampaikan, yang kami perlu jelaskan, kami telah melaksanakan pekerjaan itu dengan baik, kalau hasil pekerjaan berdasarkan hasil perhitungan PU itu sudah 30 persenan,” tuturnya.
Ia pula mengaku terkejut saat jalannya proses pengerjaan dimana terjadi perubahan konsep dalam pembangunan Pasar Tempe Wajo itu. Perubahan drastis itu terjadi saat pihaknya diminta untuk membangun Pasar Tempe dengan konsep Bangunan Gedung Hijau (BGH) berbeda dari kontrak awalnya.
“Yang kami sangat terkejut lagi, pada saat kami PCM, tiba-tiba proyek pasar tempe yang kami jalankan ini berubah menjadi konsep BGH berbeda dengan kontrak yang kami tanda tangani saat di Claro yang hanya pasar biasa saja,” ucapnya.
Perubahan konsep itulah yang kemudian membawa masalah-masalah baru dalam proses pembangunan pasar yang digadang-gadang menjadi percontohan di Indonesia Timur ini.
Pasalnya, konsep BGH sendiri baru pertama kali di terapkan di luar Pulau Jawa. Apalagi jika dihitung biaya yang dibutuhkan untuk membangun pasar dengan konsep BGH sudah pasti lebih besar jika dibandingkan dengsn pembangunan sebagaimana konsep yang disepakati sejak awal.
Ia pun mengaku bahwa pihaknya sempat mempertanyakan ihwal perubahan konsep pembangunan Pasar Tempe dari gedung pasar biasa menjadi bangunan gedung hijau. Hingga akhirnya PPK menyarankan untuk melakukan perubahan kontrak atau adendum.
“Sehingga dengan perubahan itu, kami pun bersama-sama dengan PU berusaha untuk melakukan adendum perubahan, selama pelaksanaan kita selalu berusaha mengacu dengan konsep PGH sesuai dengan yang diminta meski belum ada dasar karna belum ada perbaharuan terkait hal itu,” pungkasnya.
Ia pula mengaku dalam pemutusan kontrak itu pihak tergugat telah melanggar aturan yang dimana sebelum pemutusan kontrak dilakukan terlebih dahulu pemberian surat peringatan selama 3 kali.
“Saya diberikan rencana pemutusan kontrak tanpa ada peringatan padahal dalam aturan itu pemutusan kontrak bisa dilakukan tapi harus ada peringatan selama 3 kali dan ini kami belum menerima dan langsung pemutusan kontrak dan inibencana bagi saya, karena kalau diputuksan ini kontrak saya bisa di-blacklist,” tandasnya.(*)