
KPPU Catatkan Nilai Denda Rp220 Miliar pada Semester I 2025
JAKARTA, GOSULSEL.COM – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menutup semester pertama tahun 2025, dengan catatan kuat di tengah tekanan tinggi menjaga keseimbangan pasar yang kian dinamis.
Dari penegakan hukum terhadap konglomerasi digital, hingga reformasi kemitraan UMKM di sektor perkebunan dan transportasi daring, KPPU menegaskan kembali perannya sebagai benteng utama, dalam menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif.

Dalam laporan kinerjanya per 30 Juni 2025, KPPU mencatat sederet capaian penting, terutama di bidang penegakan hukum persaingan usaha.
Sebanyak 6 putusan dan 1 penetapan telah dijatuhkan dengan nilai denda menembus Rp220 miliar, dipimpin oleh kasus Google Play Store yang berujung pada denda Rp202,5 miliar, menjadi nilai tertinggi dalam semester ini.
Selain itu, perkara dugaan persekongkolan tender proyek PDAM di Lombok Utara, juga menghasilkan denda sebesar Rp12 miliar.
Saat ini, KPPU sedang menyidangkan 9 perkara dan memproses 2 perkara besar lainnya, termasuk kasus dugaan kartel suku bunga oleh 97 platform pinjaman online.
Dengan nilai pasar mencapai Rp1.650 triliun, perkara ini menjadi ujian berat terhadap kapasitas KPPU, dalam merespons dinamika ekonomi digital. Sidang perdana kasus ini dijadwalkan digelar pada pekan kedua Agustus 2025.
Dari sisi pengawasan merger dan akuisisi, KPPU menerima 63 notifikasi transaksi dengan nilai total mencapai Rp244,05 triliun.
Sektor transportasi-logistik, energi, teknologi, dan keuangan mendominasi arus konsolidasi tersebut.
Salah satu transaksi paling disorot adalah akuisisi Tokopedia oleh TikTok Nusantara, yang disetujui dengan syarat pada 17 Juni 2025, setelah TikTok menerima semua ketentuan remedial dari KPPU.
Selain penegakan hukum, KPPU terus menjalankan fungsi advokasi kebijakan. Tiga saran dan pertimbangan telah disusun terkait pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap benang filamen, serta pengawasan katalog elektronik layanan internet pemerintah.
Di sisi lain, program kepatuhan pelaku usaha turut tumbuh dengan 59 program yang terdaftar, dan 21 di antaranya telah mendapatkan Penetapan dari KPPU.
Perlindungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui fungsi pengawasan kemitraan menjadi sorotan tambahan.
KPPU menyelidiki 10 laporan kemitraan, sebagian besar dari sektor perkebunan sawit dan transportasi daring. Hasilnya, di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, tata kelola kemitraan plasma sawit, berhasil direformasi dan berdampak langsung terhadap kesejahteraan lebih dari 1.600 petani mitra.
Kontribusi KPPU terhadap pendapatan negara bukan pajak (PNBP) juga tak kecil. Semester ini, lembaga tersebut mencatat pemasukan Rp22,8 miliar dari putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Secara kumulatif sejak tahun 2000, total PNBP yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp825,34 miliar, dengan tingkat penagihan sebesar 75,6 persen.
Namun, Rp265,49 miliar dari 114 putusan masih belum dieksekusi, dan menjadi pekerjaan rumah mendesak bagi efektivitas lembaga.
Di tengah capaian tersebut, KPPU justru menghadapi ironi: pagu anggaran tahun 2026 dipangkas hingga 35,18 persen.
Ini merupakan pemotongan ketiga berturut-turut, bahkan tanpa alokasi untuk kegiatan penegakan hukum dan advokasi.
Kondisi ini dinilai sangat berisiko melemahkan kapasitas strategis KPPU, terutama dalam menghadapi konsentrasi pasar digital, dugaan predatory pricing produk tekstil impor, dan potensi dominasi LPG midstream.
Tahun ini, KPPU juga tengah memulai dua survei besar, yakni survei nasional Indeks Persaingan Usaha yang kini diperluas hingga ke lima Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua, serta indeks baru mengenai kemitraan UMKM.
Langkah ini diharapkan mampu memetakan kondisi persaingan secara lebih akurat, sebagai dasar perumusan kebijakan.
KPPU menegaskan bahwa target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen tidak akan tercapai tanpa perbaikan mendasar pada tata kelola persaingan usaha.
Untuk itu, diperlukan dukungan politik dan fiskal agar lembaga ini tetap mampu menjalankan perannya secara independen dan efektif.
Tanpa kehadiran otoritas yang kuat, terbuka, dan berdaya, struktur pasar Indonesia berisiko dikuasai oleh segelintir pemain besar, meninggalkan UMKM dan keadilan ekonomi di belakang.