 
                                	Bontocani Menyongsong Akses Energi Setara Lewat Program BBM Satu Harga
BONE, GOSULSEL.COM – Senin (27/10/2025), aktivitas di Kelurahan Kahu, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, tidak begitu ramai. Sore itu, anak-anak sudah pulang mengaji dari masjid besar sementara orang tua baru pulang dari bertani.
Rumah Sultan (52) tepat berada di samping Masjid Besar Syuhada. Keluar dari kediamannya, dia menggunakan motor Mio lawasnya untuk melihat proyek pangkalan BBM Satu Harga milik Pertamina.
Lokasinya sekitar 500 meter dari rumahnya, berada di jalan poros menuju Desa Bontojai yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gowa.
			 
			
Dari kejauhan, plang pangkalan sudah terlihat jelas dengan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang juga tercantum, yaitu Pertalite Rp10 ribu dan Bio Solar Rp6 ribu, harga yang sama dengan SPBU di daerah lain.
Pangkalan berukuran 4×4 meter itu sudah dilengkapi berbagai perlengkapan, misalnya drum berkapasitas 200 liter sebanyak 8 buah, alat pengisian BBM, seragam petugas, dan alat pemadam api ringan atau APAR.
 Pangkalan BBM Satu Harga di Kelurahan Kahu, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone/FOTO: AGUNG EKA-GOSULSEL
Pangkalan BBM Satu Harga di Kelurahan Kahu, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone/FOTO: AGUNG EKA-GOSULSEL
Sultan tampak mengecek kondisi pangkalan yang sudah siap beroperasi tersebut. Sejak November 2024, Pertamina secara bertahap mendatangkan perlengkapan dari Jakarta.
“Dari Jakarta langsung didatangkan, saya yang terima,” ucap Sultan.
Dia menyambut baik kedatangan Pertamina saat tahu pangkalan BBM Satu Harga bakal dibangun di Bontocani. Dengan fasilitas ini, akses bahan bakar semakin mudah dijangkau.
“Harganya pun sama, daripada harus ke pengecer yang ilegal dengan harga Rp13 ribu,” lanjut Sultan.
Menunggu Cahaya dari Bukit
Kondisi warga Bontocani serba terbatas. Jaringan komunikasi sulit diakses, minim fasilitas pendidikan, dan tak ada layanan perbankan di sana.
Berada di ketinggian 700 Mdpl, kecamatan ini dikelilingi oleh bukit, jalan poros yang berbatu, hingga jarak yang jauh ke daerah lain membuat mereka hidup dalam keterbatasan.
Geografis Bontocani sebenarnya lebih dekat dengan Tompobulu, Kabupaten Gowa. Jika ingin ke Kota Makassar, jalur ini bisa jadi pilihan utama sebab lebih dekat. Namun jalan yang rusak membuat warga harus memakai jalur yang ada melalui Kecamatan Kahu ke Kabupaten Maros.
SPBU terdekat berjarak 12 kilometer di Labuaja, Kecamatan Kahu. Mengingat jaraknya yang jauh dengan jalan yang terjal, warga hanya mengandalkan pengecer dengan harga Rp13.000 untuk bahan bakar jenis Pertalite.
Salah seorang warga, Zulkarnain (32) yang juga petani mengaku kesulitan mendapatkan bahan bakar solar untuk traktornya. Dia hanya bisa sekali seminggu ke Kecamatan Kahu untuk mengisi solar ke dalam jeringennya yang berkapasitas 10 liter.
“Kalau ada warga yang bersamaan mau ambil solar pakai mobil, saya bisa bawa banyak,” katanya.
Dia kemudian mendengar dari Sultan mengenai kabar kehadiran pangkalan BBM Satu Harga di Bontocani. Senangnya bukan main saat informasi itu tersiar.
Menurut Zulkarnain, pangkalan BBM Satu Harga adalah solusi dari akses bahan bakar yang sulit sampai sekarang. Apalagi sebagian mesin pertanian butuh solar agar terus produktif.
“Semoga cepat bisa beroperasi biar tidak jauh-jauh lagi ke Kahu ambil solar,” ucapnya.
Proyek pangkalan BBM Satu Harga di Bontocani bukan sekadar pembangunan fasilitas, melainkan tanda bahwa perhatian negara akhirnya menjangkau warga di sana.
Setidaknya dengan pemerataan energi itu, kesulitan mereka berkurang, tidak jauh lagi untuk mendapatkan bahan bakar dengan harga resmi Pertamina.
Dampak Ekonomi yang Ditunggu
Pangkalan BBM Satu Harga punya dampak luas bagi warga Bontocani. Akses energi yang setara dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Mayoritas warga Bontocani merupakan petani. Dua komoditas andalannya adalah beras dan madu.
Madu Bontocani dikenal dengan kualitas yang sudah teruji oleh beberapa peneliti perguruan tinggi, salah satunya Universitas Hasanuddin.
Khusus madu, komoditas ini sudah terkenal hingga luar Sulawesi Selatan dengan kualitasnya yang sudah teruji oleh beberapa peneliti perguruan tinggi.
Aryisa (45), salah satu petani madu di sana. Sehari-harinya, dia ke hutan untuk mencari sarang lebah kemudian diternak di rumahnya.
Jarak hutan dari rumahnya sekitar delapan kilometer. Dia menggunakan motor untuk menghemat tenaganya yang tidak kuat seperti dulu.
“Dulu selalu jalan, tapi karena faktor usia jadi mulai lemah,” ucapnya.
Kehadiran pangkalan BBM Satu Harga sangat dinantikan Aryisa. Akses bahan bakar yang murah jadi harapannya sejak menjadi petani.
Dia menyebut, rata-rata petani sudah memanfaatkan alat pertanian modern seperti traktor. Sayangnya alat tersebut menggunakan bahan bakar jenis Pertalite yang harus dibeli mahal dari pengecer.
Begitu juga dengan kendaraan motor dan mobil pick up yang menggunakan bahan bakar jenis Pertalite untuk distribusi hasil komoditas ke pasar utama di Bone dan sekitarnya.
 Asyira memperlihatkan produk madu miliknya di kediaman/FOTO: AGUNG EKA-GOSULSEL
Asyira memperlihatkan produk madu miliknya di kediaman/FOTO: AGUNG EKA-GOSULSEL
Dampaknya, petani tidak bisa mengambil keuntungan yang besar lantaran ongkos operasional yang sudah tinggi.
Asyira mengambil contoh madu Bontocani yang nilai jualnya sebenarnya tinggi di pasaran. Untuk ukuran 250 mililiter saja, harganya mencapai Rp35.000.
Dengan harga segitu, dia mengaku bisa mengambil margin keuntungan Rp10.000 untuk setiap botolnya. Namun karena biaya operasional yang tinggi, dia cuma mendapatkan untung berkisar Rp3.000 sampai Rp7.000.
“Beda Rp3000 itu berdampak sekali bagi petani, apalagi bagi kami yang punya akses terbatas ke pasar karena jauh semua,” kara Asyira.
Dengan bahan bakar yang murah, biaya operasional petani bisa lebih efisien. Jika terjadi inflasi terhadap harga komoditas, setidaknya mereka masih bisa untung.
“Jika harga madu lagi naik, paling tidak kita tidak terlalu naikkan juga karena operasional sudah murah,” kata Asyira.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi asal Universitas Muhammadiyah Makassar, Sutardjo Tui menilai kehadiran BBM Satu Harga tidak hanya berefek pada biaya yang lebih efisien, tapi juga pada daya saing produk lokal.
“Madu sebagai komoditas andalan di sana diharap bisa tembus pasar nasional karena distribusinya sudah semakin lancar,” ucapnya.
Dia berharap proyek ini bisa cepat beroperasi sehingga dampaknya bisa terasa langsung ke petani. “Lebih cepat, lebih bagus lagi untuk petani,” kata Sutardjo.
Proyek Strategis untuk Pemerataan Energi
PT Pertamina Patra Niaga, bagian dari PT Pertamina (Persero) menghadirkan program BBM Satu Harga untuk menghadirkan harga bahan bakar yang sama di seluruh Indonesia.
Berkerjasama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BPH Migas, program ini punya tujuan sederhana namun punya dampak besar, yaitu memastikan seluruh rakyat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) memiliki akses energi yang setara.
Program ini mencakup wilayah yang tersebar di Maluku – Papua (14 titik), Sulawesi-Nusa Tenggara (12 titik), Kalimantan (7 titik), dan Sumatera (7 titik).
 Peresmian pangkalan BBM Satu Harga di SPBU 7694802 Tinangkung Selatan, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah pada 30 Oktober 2024 lalu/FOTO: AGUNG EKA-GOSULSEL
Peresmian pangkalan BBM Satu Harga di SPBU 7694802 Tinangkung Selatan, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah pada 30 Oktober 2024 lalu/FOTO: AGUNG EKA-GOSULSEL
Program BBM Satu Harga di Bontocani termasuk pangkalan baru yang diumumkan oleh Pertamina bersamaan dengan 11 titik lainnya, seperti Ternate, Padang, Kubu Raya, dan Banggai Kepulauan.
Dengan ini, Sulawesi sendiri telah memiliki 58 titik BBM Satu Harga yang mencakup Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.
Executive General Manager Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi, Fanda Chrismianto saat itu menyatakan bahwa penambahan SPBU 3T merupakan wujud komitmen Pertamina untuk menghadirkan energi merata di Sulawesi.
“Program BBM Satu Harga merupakan upaya kami untuk menyediakan energi berkeadilan, menjadikan harga BBM yang sama dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di wilayah Sulawesi yang memiliki tantangan akses,” ujar Fanda.
Program ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong perekonomian di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat.
Sejak pertama kali dicanangkan pada tahun 2017, Pertamina Patra Niaga telah mengoperasikan 542 titik BBM Satu Harga di berbagai wilayah di Indonesia. Dengan program ini, bahan bakar lebih terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat di seluruh penjuru negeri terkhusus di Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone. (*)
