Salah satu gambar dari film dokumenter "Pejuang dari Gua Purbakala" karya Nurtaqdir Anugrah dan Muhammad Fahmi Iskandar. (Foto: Dok. Eagle Award 2015)

Ayo! Vote Film Sutradara Muda Makassar di Eagle Award

Kamis, 15 Oktober 2015 | 16:31 Wita - Editor: Nilam Indahsari - Reporter: Nilam Indahsari - GoSulsel.com

Halaman 1

Makassar, GoSulsel.com – Sebuah film dokumenter besutan 2 sutradara muda Makassar, Nurtaqdir Anugrah dan Muhammad Fahmi Iskandar, sedang berlaga di Eagle Award 2015. Film itu berjudul “Pejuang dari Gua Purbakala”.

“Pejuang dari Gua Purbakala” mengambil latar kawasan karst Maros. Kawasan ini tak hanya memiliki keindahan tapi juga fungsi perlindungan bagi spesies endemik dan sebagai penyimpan cadangan air. Selain itu, di dalamnya terdapat 138 gua prasejarah. Para ilmuan juga menemukan stensil tangan di Gua Pettakere, Leang-Leang, yang baru-baru ini diklaim sebagai salah satu lukisan gua tertua di dunia. 

Dalam film ini dituturkan tentang seorang warga bernama Iwan (35 tahun) bersama kelompok pemuda desa yang berupaya cari jalan untuk melindungi kawasan karst Maros. Mereka adalah orang-orang yang dirugikan oleh eksplorasi korporasi di kawasan karst.

“Saya tertarik dengan potensi alam di kawasan karst Maros. Tapi saya menemukan persoalan di karst yang rusak oleh aktivitas tambang,” terang Nurtaqdir kepada GoSulsel.com, Kamis (15/10).

Lebih lanjut Nurtaqdir mengatakan, persoalan yang muncul bukan hanya bidang ekologi tapi juga situs sejarah, sosial, dan kultur.

Halaman 2

Bukan cuma ekologi yang diancam tapi juga situs sejarah. Saya juga menemukan banyak persoalan sosial. Masyarakat yang tinggal di sekitar daerah tambang tidak sejahtera, debu, dan jalan raya yang banyak dikuasai oleh kendaraan korporasi. Mereka juga berubah secara kultur, awalnya mereka menanam padi tapi sekarang mereka bekerja di tambang,” tuturnya lebih lanjut.

Melalui Eagle Award 2015, Nurtaqdir berharap film dokumenter yang disutradarainya ditonton oleh pemerintah agar ada tindakan terhadap korporasi yang beroperasi di sana.

“Situs prasejarah di kawasan karst Maros telah diajukan ke UNESCO untuk dinaikkan statusnya di tahun 2001 dan 2009 tapi sampai sekarang belum direalisasikan. Saat tahu tentang itu, korporasi melakukan eksploitasi yang lebih gila,” ungkap Nurtaqdir.

Saat ini, film yang diproduksi sejak tanggal 6 September 2015 ini masih berada di posisi ke-3 dari voting yang dilakukan oleh Panitia Eagle Award 2015. Namun jumlah suara yang diperoleh baru 756, jauh tertinggal dari nominator pertama yang meraih suara di atas angka 2 ribu.


BACA JUGA