#Makassar Biennale 2015
Memecah Ketakutan di Artist Talk Makassar Biennale
Halaman 1
Makassar, GoSulsel.com – Di hari ke-2 Makassar Biennale 2015, Suwarno Wisetromoto, kurator Galeri Nasional Indonesia sekaligus event ini menjadi pembicara dalam sesi Artist Talk (Wicara Seniman). Selain Suwarno, hadir pula seniman Makassar yang kini menetap di Jogjakarta yakni Jim Allen Abel atau akrab disapa Jimbo. Dan juga Muhammad Taslim MRA selaku Commission Artistic Makassar Biennale.
Acara yang dipandu oleh Direktur Artistik Makassar Biennale, Nur Abdiansyah, ini diselenggarakan di Rumata’ Art Space, Minggu (18/10) pukul 4 sore. Diskusi dihadiri sekitar 20-an orang dan berlangsung cukup santai.
Sebagai pembicara, Jimbo mengetengahkan perjalanan kariernya di dunia seni rupa.
“Saya dulu basic-nya mahasiswa. Saya bergelut di dunia media rekam, video, dan fotografi. Di tahun ’90-an sampai 2000-an di Jogja, media baru itu belum ada tempatnya. Tapi kami mengenal media ekspresi adalah media yang bebas membuat video art. Kami melihat di Indonesia fotografi belum diterima karena fotografi mempunyai basic foto pemandangan. Tapi kami di kampus melakukan eksperimen. Kami melihat yang indah itu cuman satu. Jadi kami membongkar itu karena kami belum mengenap konsep,” kisah Jimbo di tengah diskusi.
Karena karya-karya yang dibuatnya tidak diterima, mulai dari situ Jimbo sering ngobrol dan selalu mencari referensi.
Halaman 2
“Karena karya saya tidak diterima, saya waktu itu bersama teman-teman selalu membahas segala sesuatu, apapun itu dan banyak mencari referensi. Pelan-pelan kami mulai mengenal konsep dan membangun konsep. Itu terbentuk karena kami sering ngobrol dan membahas sesuatu. Dan itu semua kita bicarakan. Dan itu yang mempengaruhi sebuah karya,” kata Jimbo, lebih lanjut.
Di tahun 2008, Jimbo memilih jadi seorang seniman dan itu keputusan yang begitu berat.
“Waktu saya kuliah tahun 1996 kami itu ada 47 orang dan kami lulus pada waktu itu. Dan cuma aku yang jadi seniman dan itu sangat berat karena tekanan realistis yang begitu berat. Saya sempat juga bekerja di Jakarta dan ini tidak realistis. Aku bilang, ini semua apa? Nah, di situ aku pulang ke Jogja dan menjadi seorang seniman itu di tahun 2008. Aku cuma mau bilang buat teman-teman, kalau kamu menyatakan kalau seniman itu tidak realistis, kamu tidak bakalan jadi seniman,” tandas Jimbo.
Karya pertama seorang Jimbo adalah “Indonesia Hero”. Karya ini tentang image foto pahlawan yang menurutnya begitu tidak sesuai. Jadi, karya dari Jimbo ini menabrak semua.
Di sisi lain, Warno (sapaan Suwarno) mengatakan, dunia seni rupa itu seperti “arena balap”. Sebabnya, di Makassar Biennale ada pertarungan wacana dan gagasan.
Halaman 3
“Makassar Biennale seperti “arena balap”. Jadi, bagaimana kita mengelola itu. Kalau kita tidak punya kematangan, itu akan hancur semua,” kata Warno.
Lebih lanjut Warno menyarankan ke peserta yang hadir agar tak takut masalah ide. Karena di Makassar punya tempat yang relatif murah didatangi untuk mendapatkan ide.
“Makassar begitu keren. Jadi tidak usah takut masalah ide. Karena sisa belanja ide saja dan di sini juga murah. Sisa ke Toraja, Luwuk, dan Makassar itu sendiri. Dan di Makassar punya itu,” pungkas Warno.