Pulau Lakkang & Kisah Para Pendengar Ajaib
Halaman 1
Makassar, GoSulsel.com – Setelah menaiki perahu rakit dari dermaga Kampung Kera-Kera, perjalanan jadi begitu mengasyikkan. Dari atas perahu, kita bisa melihat berbagai pemandangan yang jarang sekali kita temui selama berada di kota. Rindangnya pohon nipah membuat suasana jadi teduh. Di sepanjang sungai pun tak terlihat bungkus makanan dan minuman yang mengapung.
Sekitar 25 menit kemudian, perahu merapat ke Pulau Lakkang. GoSulsel.com pun mengelilingi pulau dan bertanya dari rumah ke rumah. Akhirnya, seorang anak perempuan mengarahkan kami bertemu dengan salah seorang penduduk asli.
Daeng Nyampa’, Kepala Dewan Adat sekaligus keturunan ke-3 Daeng Rilakkang, tampak sedang bercerita di bawah sebuah rumah panggung tetangganya. Setelah bertanya tentang awal mula nama pulau ini, ia seketika bersedia bercerita.
Dg Nyampa’ pun berkisah. Menurutnya, sebelum menyandang nama Pulau Lakkang, dulu di abad ke-14, pulau ini disebut dengan Pulau Bonto Mallangngere’ yang berarti Gunung Tinggi yang memiliki pendengaran yang tajam.
“Sebelumnya jadi Pulau Lakkang, namanya dulu Bonto Mallangngere’. Kenapa dibilang Bonto Mallangere’? Karena penduduknya dulu itu bisa mendengar berbagai aktivitas yang berada di kota Makassar, mulai dari cerita perang, bahkan bisa didengar kalau ada orang yang mau menyerang di ini pulau,” Dg Nyampa’ bercerita kepada GoSulsel.com, Rabu (25/11/2015).
Halaman 2
Kala itu, pulau yang dihuni oleh para pendengar ajaib ini sangat damai. Pulaunya pun sangat tenteram.
Namun, semua berubah saat pasukan Kahar Muzakkar mengusir warga yang sempat dihuni oleh Jepang sebelum kepergiannya kembali ke negara asal.
Setelah pasukan Kahar Muzakkar menempati pulau itu, akhirnya para tentara dari Pulau Jawa menumpas dengan mengusir berbagai tentara gerilyawan saat itu. Setelah pergi, para penduduk asli yang dipimpin oleh kepala adatnya, Dg Rilakkang, kembali. Pulau ini pun lantas diubah namanya jadi Pulau Lakkang.
“Lakkang itu bahasa Makassar. Kalau di bahasa Indonesia-kan ki artinya: tidak bisa berpisah. Namanya itu diambil dari Dg Rilakkang, yang saat itu menjadi ketua adat atau pahlawan di pulau ini. Dikasinya nama begitu karena dia yang bawa kembali warga. Orang-orang menyebutnya dengan nama Lakkang, salah satunya untuk mengenang jasa Dg Rilakkang sekaligus menjadi arti kalau ketua adat dan warganya tidak bisa terpisahkan. Sama saja dengan nama pulaunya, karena kalau orang sudah ke sini satu kali, pasti ada saatnya nanti kembali lagi ke sini jalan-jalan,” ungkapnya.
Tak cukup sampai di situ, Dg Rilakkang juga jadi salah satu orang yang menjaga para warganya. Tokoh itu dianggap paling berjasa dalam memimpin pulau ini. Hingga akhirnya namanya pun resmi jadi nama pulau yang ditempati warga asli Tallo ini.
Halaman 3
“Saat itu, dia kabur bersama warga bukan berarti takut. Dia punya ilmu yang sakti. Bahkan kulitnya pun tidak bisa tembus peluru. Tapi yang dikhawatirkan karena warga tidak ada yang punya ilmu, jadinya diselamatkan semua dengan cara melarikan diri,” katanya.
Menurut cerita yang didengar dari sebagian warga, Dg Rilakkang merupakan salah seorang saudara Raja Tallo pada saat itu. Namun, dia memilih untuk tak memegang tahta dan pergi meninggalkan singgasananya. Tak ada yang tahu mengenai maksudnya pergi melepas tahtanya sebagai pangeran.
Dg Rilakkang, yang terkenal akan jasanya itu lalu terpikat oleh salah seorang wanita yang dipanggil dengan sebutan “Tau Sanna Kalumannyang ri Marusu” atau “Orang Terkaya di Kabupaten Maros”.
“Kalau namanya saya kurang tau siapa, tapi orang biasa bilangnya Tau Sanna Kalumannyang ri Marusu”,” terang Dg Nyampa’.
Kisah percintaan 2 sejoli ini bisa kita lihat di area pekuburan Pulau Lakkang. Di sana terlihat makam berwarna hijau dengan ditutupi atap dari besi tipis. Di dalam makam itu terlihat 2 kuburan yang menurut warga di pulau itu adalah makam dari Dg Rilakkang dan istrinya. Tampak pula di bagian sisi kuburan para pengawalnya, seolah menjaga 2 pasangan itu.
Halaman 4
“Kalau mauki tauki istrinya, ada itu patung kuda yang dinaiki sama cewek di perbatasan Kabupaten Maros. Itumi dia “Tau Sanna Kalumannyang ri Marusu”,” ujarnya.
Setelah mendengar kisah dari Dg Nyampa’, kami pun disuguhi beberapa makanan khas Sulawesi Selatan seperti Sanggara’ dan Unti Peppe’ dan minuman hangat di sore hari. Ini jadi petanda bahwa penduduk pulau ini sangat ramah kepada seluruh tamu wisatawan yang datang.
Ini foto-fotonya yang lain:
Halaman 5
Halaman 6
(*)