Jalangkote, Jalan Laccukang, Kuliner, Kuliner Makassar, Kuliner di Makassar, Jajanan Khas Makassar
Jalangkote buatan Mardiah (kiri). (Foto: Andi Dahrul Mahfud/GoSulsel.com)

Jalangkote Mardiah di Lorong Jl Laccukang, Sudah Rambah Jagat Nusantara

Selasa, 12 Januari 2016 | 09:01 Wita - Editor: Nilam Indahsari - Reporter: Andi Dahrul Mahfud - GoSulsel.com

Halaman 1

Makassar, GoSulsel.com – Icip-icip pastel atau yang biasa disebut dengan jalangkote bagi warga Makassar dan sekitarnya adalah salah satu kesukaan. Cemilan kaya sayuran ini cukup mengenyangkan dan jika diramu dengan pas, hasilnya bisa jadi gurih. Salah seorang yang boleh dikata punya tangan jitu meracik adalah Mardiah.

Meski tak setenar Lily Montolalu yang jualan jalangkotenya sudah dijual dalam skala besar, namun buatan Diah-sapaannya-juga tak kalah enak. Menurut pengakuan warga sekitar, jajanan tradisional buah tangan Diah cukup digandrungi. Diah pun berlimpah orderan tiap jelang hari raya atau acara-acara warga sekitar.

pt-vale-indonesia

“Lumayan banyak yang pesan di sini. Biasanya cukup ramai kalau menjelang hari raya. Kalau bulan puasa, orang sekitar sini dan warga di luar Jl Laccukang biasa juga pesan. Bahkan biasanya sampai ratusan saya buat. Bisa sampai 50-an kalau bulan Ramadan,” aku Diah yang ditemui sedang mengerjakan pesanan khusus pelanggannya, Kamis (31/12/2015).

Rasa jalangkote Diah memang tak sekaya milik jalangkote Lasinrang, misalnya. Tapi perbedaannya paling hanya di persoalan tambahan daging cincang. Soal kulitnya pun, boleh diadu. Karena kulit jalangkotenya begitu renyah.

“Kalau orang lain biasanya pakai minyak untuk kulit jalangkotenya. Kalau saya pakai mentega dan telur. Jadi renyahki,” terangnya.

Halaman 2

Diah memulai kerjanya sejak subuh. Awalnya, perempuan paruh baya ini mempersiapkan berbagai bahan, yakni isian dari jalangkote itu sendiri. Ia tak memakai kentang yang harganya cukup mahal, melainkan ubi jalar. Pertimbangannya agar harga jualnya bisa murah. Selain itu, ada wortel, tauge, laksa, dan daun bawang.

“Kalau subuhmi itu, bangunma’ biasanya menumis itu isiannya jalangkote. Pagi hari sekitar jam 10 pagi saya buatmi itu adonannya untuk digoreng kalau jam 12, biar hangat selama dijual,” katanya tentang ritme kerjanya.

Tepat pukul 2 siang, Mardiah mempersiapkan berbagai perlengkapan jualan seperti keranjang untuk menyimpan jalangkote yang cukup hangat. Keranjang ini akan dijinjing oleh cucu-cucunya sembari mengelilingi beberapa jalan radius yang tak terlalu jauh. Dengan teriakan khas, mereka mencoba menarik perhatian pelanggannya.

Tapi Diah tak hanya menjual pada siang jelang sore. Ada sejumlah jalangkote yang juga ia buat di pagi hari dan dititip sebagian ke sebuah toko dekat rumah kontrakannya.

Sambil menyaksikan Mardiah menata jalangkotenya, ia bercerita asal muasal menekuni usahanya ini. Menurutnya, awalnya ia tak begitu percaya mampu membuat penganan ini.

Halaman 3

“Awal mulanya sekitar tahun ’80-an, saya ditantang oleh salah satu orang tua Tionghoa membuat jalangkote untuk dijual di kios miliknya di Kampus IKIP (sekarang UNM). Awalnya saya menolak karena tidak terlalu yakin bisa membuat jalangkote yang renyah. Tapi dia terus memaksa. Akhirnya saya diajar membuat sambil menjelaskan takaran bahannya untuk membuat adonannya. Itu awal mulanya saya jualan jalangkote. Tapi sebelumnya, saya menjual juga berbagai kue seperti pawa dan kue-kue lainnya,” kenangnya.

Jadilah sekarang Diah berhasil berdiri sendiri di atas usaha jalangkotenya. Salah satu pemikat jualannya adalah harga jual yang rendah, yakni Rp 1.000 dengan ukuran sedikit lebih kecil dari jalangkote Lasinrang. Diah sering menghabiskan sampai 200 biji jalangkote tiap hari. Namun, dirinya mengatakan, untung bersih dari jualannya hanya berkisar Rp 30 ribu.

“Kalau dilihat dari hasil jualannya, yah memang bisa dibilang sangat banyak. Tapi apa tonji kodong kalau untung bersihnya Rp 30 ribuji. Karena dimana saya bayar juga cucu-cucuku untuk uang jajan karena sudah nabantuka’ menjual,” kata Diah.

Meski skala kecil, namun jalangkote Diah ternyata sudah melanglang buana di jagat Nusantara. Dirinya mengaku, tak jarang ia kewalahan membuat jalangkote ketika ada pesanan orang yang ingin jadikan jualannya sebagai ole-ole.

Halaman 4

“Biasami jadi ole-ole ini. Ada ke Bandung, Jakarta, Kalimantan. Pokoknya biasami pesan. Bahkan cucunya (Ustadz) Sanusi Baco biasa pesan di sini sampai ratusan biji,” katanya.

Di sela-sela perbincangan, Diah juga mengutarakan keinginannya untuk mengembangkan usahanya. Salah satu langkahnya dengan menambah variasi menu di tahun ini. Setelah menganalisa pasar, ia menyimpulkan, ada kecenderungan konsumen di sekitar tempat tinggalnya terhadap Songkolo Begadang.(*)


BACA JUGA