Amnesty Internasional Bahas Human Rights Outlook di Sulsel
Makassar, GoSulsel.com – Amnesty International Indonesia mengamati bahwa doktrin pembangunan (growth), moralitas (morality) dan persatuan (unity) yang popular selama pemerintahan Jokowi-JK telah berujung pada pelanggaran HAM di berbagai daerah di Indonesia.
Tim Komunikasi Amnesty International Indonesia, Haeril Halim menjelaskan banyak pelanggaran HAM yang dibenarkan dan dibiarkan terjadi untuk menyukseskan agenda pembangunan, moralitas dan persatuan tanpa adanya koreksi dari publik dan kelembagaan penegak hukum.
Masifnya agenda-agenda pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi patut diapresiasi, tapi di sisi lain niat baik ini juga menggerus hak-hak dasar warga di berbagai daerah di Indonesia yang berujung pada kekerasan.
Tahun ini misalnya, tanah pertanian dan rumah warga di Majalengka, Jawa Barat, dan Kulon Progo di Yogyakarta, digusur secara paksa untuk membangun bandara masing-masing di kedua daerah tersebut. Petani yang melakukan protes ketika haknya dilanggar juga mengalami kekerasan dan terancam masuk bui.
Ini adalah bentuk pelanggaran HAM by products yang disponsori oleh negara. Pembangunan harus ramah HAM dan pembangunan yang melanggar HAM harus ditolak.
Kedua, menguatnya politik identitas dalam bentuk aksi intoleransi yang memakai dalih agama semakin memproduksi praktik diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah.
“Ke depan, hal ini bisa menjadi faktor disintegrasi atau pemecah sosial yang berakibat panjang. Politik identitas ini ladang subur yang bisa dimanfaatkan oleh pencari para kandidat dalam pilkada dan pilpres mendatang,” ujar Haeril.
Ketiga, dan ini yang tak kalah pentingnya juga, adalah respon negara atas naiknya tingkat ketidakpuasan orang Papua atas masifnya perusakan hutan dan eksploitasi sumber daya alam, dan perambahan tanah adat.
Kebebasan berekspresi masyarakat Papua dikekang. Banyak dari orang Papua ditangkap saat melakukan protes damai, disiksa ketika ditahan aparat keamanan, dan dibunuh dengan alasan menjaga keamanan nasional.
Akuntabilitas pada praktek-praktek penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum sangat minim di Papua.
“Di luar Papua, reaksi negara terhadap intoleransi dan radikalisme agama semakin memproduksi hyper-nationalism yang ditempuh dengan melalui jalur pintas membubarkan ormas tanpa pengadilan,” kata Haeril.
Atas nama persatuan juga, ormas-ormas pelaku vigilante melarang dan membubarkan acara-acara yang mencoba mendiskusikan peristiwa pembunuhan massal pada tahun 1965 dan mendengarkan suara-suara korban.
“Nyaris semua pelanggaran HAM dalam kategori ini dilakukan atas nama NKRI dan Pancasila untuk ‘mempersatukan’ semua. Bukannya persatuan yang dihasilkan tapi ‘persatean’ seperti yang pernah diungkapkan Bung Hatta,” pungkas Haeril.
Lalainya pemerintah memperhatikan HAM dan hanya fokus pada doktrin pembanguan, dimanfaatkan oleh kelompok vigilante untuk memaksakan agenda mereka mempopulerkan praktek politik kambinghitam yang menyasar kelompok-kelompok lemah. Upaya untuk meredam kelompok vigilante kurang terlihat dan bahkan terkesan tindakan mereka dibiarkan tak terhukum oleh aparat. (*)