Ditangan SYL, Produksi Pangan Sulsel Tumbuh 4,37 %

Minggu, 07 Januari 2018 | 12:15 Wita - Editor: Irfan Wahab - Reporter: Mirsan - Go Cakrawala

Makassar, GoSulsel.com — Kepemimpinan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo akan segera berakhir bulan April mendatang. Berbagai hasil positif telah dicapai selama memimpin Sulsel satu dekade mulai 2008-2018.

Yang paling menonjol adalah sektor pertanian Sulsel, berkat program dan kebijakannya. Kini Sulsel menjadi salah satu provinsi penyangga atau lumbung pangan nasional.

pt-vale-indonesia

Dalam Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban Akhir Masa Jabatan (LKPJ-AMJ) Gubernur Sulsel 2013-2018, yang disampaikan akhir pekan kemarin. Syahrul menyebutkan setiap tahun produksi pangan Sulsel, utamanya padi dan jagung mengalami peningkatan rata-rata 4,37 persen pertahun.

Ini bisa dilihat dari perbandingan hasil produksi padi di tahun 2013 5,03 juta ton gabah kering giling naik menjadi 5,72 juta ton di tahun 2017. Hal yang sama terjadi pada hasil jagung, di tahun 2013 hanya 1,25 juta ton menjadi 2,06 juta ton pipilan kering di 2017.

“Hal ini membuktikan, Sulsel secara nasional masih menjadi penyangga sektor pertanian. Produksi kita terbesar keempat atau yang paling tinggi di luar pulau Jawa,” katanya kemarin.

Kinerja SYL bersama wakilnya Agus Arifin Nu’mang memang sudah terlihat sejak periode pertama (2008-2013). Syahrul telah menjadikan pertanian sebagai sektor utama fokus pembangunan di Sulsel.

Pada masa awal pemerintahannya, mantan Bupati Gowa dua periode ini membuat kebijakan yang menghentak yaitu menetapkan target kuantitatif surplus dua juta ton beras.

Penetapan target kuantitatif ini cukup fantastis, namun terukur, serta tidak dapat ditawar atau dikompromikan. Bayangan akan kegagalan mencapai target menjadi momok besar yang dapat menjatuhkan wibawa pemerintahan Syahrul Yasin Limpo dan wakilnya, Agus Arifin Nu`mang.

Target surplus dua juta ton beras, bisa dikatakan hampir mustahil untuk dicapai saat itu. Betapa tidak, pada tahun 2007 produksi padi Sulsel baru mencapai 3,635 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), setara dengan 2,280 juta ton beras (asumsi rendemen 62,74 persen, berdasarkan data rendemen Dinas Pertanian RI tahun 2007).

Dengan jumlah populasi penduduk Sulsel tahun 2007 sebesar 7,675 juta jiwa dan konsumsi beras per kapita per tahun 110,28 kg (Statistik Konsumsi Pangan, Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2012), maka kebutuhan beras Sulsel pada tahun 2007 mencapai 846,497 ribu ton beras.

Maka berarti untuk mencapai target surplus dua juta ton beras, Sulsel harus memastikan peningkatan produksi beras sebesar 566 ribu ton, setara dengan 902,135 ribu ton GKG, atau naik hingga 24,81 persen.

Target tersebut terasa mustahil jika melihat perkembangan produksi padi Sulsel dari tahun ke tahun.

Menurut data Bank Indonesia, laju pertumbuhan produksi padi Sulsel selama kurun waktu 2001-2006 tercatat sangat lamban, yaitu rata-rata sekitar 0,20 persen per tahun.

Dengan tingkat pertumbuhan produksi seperti itu, butuh waktu sekitar 124,05 tahun bagi Sulsel untuk mencapai target over stock dua juta ton beras.

Faktanya, dalam waktu kurang dari lima tahun, Syahrul Yasin Limpo dan jajarannya membuktikan bahwa target tersebut bukan hanya sekedar janji politis.

Data BPS menunjukkan pada tahun 2011, produksi padi Sulsel melejit ke angka 4,51 juta ton padi GKG, dan kembali naik hingga menembus angka 5 juta ton pada tahun 2012, meningkat 1,365 juta ton padi GKG dari tahun 2007. Target surplus dua juta ton beras pun tercapai, bahkan terlampaui.

Pada titik ini, Syahrul mendorong batasan-batasan produksi pertanian padi Sulsel, ia menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil dicapai, apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

Segera setelah target surplus dua juta ton beras tercapai, Syahrul kembali meningkatkan target produksi dari tahun ke tahun dan hasilnya pada penghujung 2017, Kepala Dinas Pertanian Sulsel, Fitriani mengemukakan jumlah produksi padi Sulsel mencapai 6,01 juta ton GKG.

Peningkatan surplus beras yang berhasil dicatatkan Sulsel dari tahun ke tahun secara konsisten, menghantarkan provinsi ini menjadi pilar utama penyangga pangan nasional.

Beras produksi Sulsel telah dikirim ke berbagai provinsi di Tanah Air. Pada 14 Juli 2015, Menteri Pertanian RI Amran Sulaiman melepaskan pengiriman beras produksi Sulsel ke 11 provinsi di Indonesia, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Papua, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Jambi, Riau, Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam.

Upaya mewujudkan target surplus beras hingga jutaan ton, tentu saja bukan perkara yang mudah. Untuk mewujudkannya, Pemprov Sulsel berinvestasi cukup besar.

Berdasarkan data Analisis Keuangan Publik Sulawesi Selatan Tahun 2012 yang disusun oleh Bank Dunia, selama periode 2005-2010, belanja sektor pertanian di Sulawesi Selatan meningkat lebih dari dua kali lipat.

Belanja sektor pertanian di tingkat provinsi meningkat rata-rata 23,5 persen per tahun selama periode 2005-2011.

Pendekatan arah investasi yang berbeda juga tampak jelas antara periode pertama (2008-2013) dengan periode kedua (2013-2018) kepemimpinan Syahrul.

Pada periode pertama, investasi pemerintah tampak melalui berbagai paket bantuan sarana produksi langsung seperti pupuk dan bibit untuk mengakselerasi pertumbuhan produksi pangan.

Pada periode ini teknologi sederhana diperkenalkan dan kualitas SDM petani ditingkatkan melalui penyuluhan dan sekolah lapang.

Menurut mantan Kepala Dinas Pertanian Sulsel Lutfi Halide yang menjabat sejak periode pertama Gubernur Syahrul Yasin Limpo hingga tahun 2015, bantuan benih dikucurkan mulai dari cadangan benih nasional, benih hibrida dan nonhibrida, hingga benih untuk lahan kering. Selain berasal dari pemerintah pusat, bantuan operasional pertanian juga dialokasikan dalam APBD Sulsel.

Dinas Pertanian Sulsel juga tetap mengadopsi kearifan lokal dengan melakukan musyawarah “tudang sipulung” saat memasuki musim tanam. Bedanya, “tudang sipulung” kini tidak hanya dihadiri masyarakat dan tokoh adat, tetapi juga unsur pemerintah dan akademisi untuk mensinergikan kearifan lokal dengan prediksi cuaca dan faktor lain secara ilmiah.

Pada periode kedua, Syahrul tampaknya mulai mengarahkan investasi sektor pertanian untuk mewujudkan mekanisasi pertanian.

Mesin tanam dan mesin panen mulai diperkenalkan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Untuk tahun 2016 saja, menurut Fitriani, pihaknya menyiapkan bantuan 4.608 unit alat mesin pertanian (Alsintan) senilai lebih dari Rp240 miliar. Bantuan tersebut terdiri atas mesin-mesin pra tanam seperti traktor dan “rice planter” dan mesin-mesin pasca panen seperti “mobile combine harvester.”

Pilihan untuk menerapkan mekanisasi pada pertanian Sulsel bukannya tanpa pertimbangan. Dalam berbagai kesempatan Syahrul selalu menyuarakan harapannya untuk mewujudkan keinginannya dalam menjadikan sektor pertanian Sulsel tiga kali lebih baik. Melalui mekanisasi pertanian hal ini dapat terwujud berkat efisiensi tenaga, biaya dan waktu.

Penggunaan mesin panen “mobile combine harvester” misalnya, dapat meningkatkan hasil produksi hingga 10 persen, karena mampu menekan kehilangan hasil produksi dari 11 hingga 12 persen menjadi hanya satu hingga dua persen, dibandingkan pemanenan secara manual.

Penggunaan mesin penanam atau “rice planter”, mampu mengefisienkan waktu tanam, dengan kecepatan tanam empat jam per hektare. Efisiensi waktu ini, penting khususnya dalam upaya meningkatkan indeks pertanaman padi hingga IP 300 (Indeks Pertanaman 3 kali setahun).

Selain penerapan mekanisasi pertanian, anggaran super besar juga diarahkan untuk pembangunan infrastruktur utama pertanian termasuk pembangunan bendungan.

Setidaknya empat bendungan besar yang diperkirakan secara total menelan anggaran triliunan rupiah, tengah dibangun Syahrul untuk memenuhi kebutuhan air yang menjadi faktor pembatas utama sektor pertanian.

Ke-empat bendungan besar tersebut adalah Bendungan Passeloreng di Kabupaten Wajo, Bendungan Kareloe di Jeneponto, Bendungan Baliase di Luwu Utara, dan Bendungan Pammukkulu di Takalar.

Pembangunan Bendungan Passelloreng yang dimulai sejak 2015 dengan nilai kontrak mencapai Rp700 miliar diharapkan mampu mengairi lahan seluas sekira 7000 ha. Secara total ke-empat bendungan tersebut diperkirakan mampu mengairi lahan seluas lebih dari 20 ribu hektare.

Upaya mewujudkan pembangunan ke-empat bendungan besar tersebut tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terutama ketika saat itu Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla justru tengah melakukan pemotongan anggaran besar-besaran. Lobi politik tingkat tinggi dibutuhkan untuk memastikan keberpihakan anggaran untuk sektor pertanian Sulsel.

Pada kondisi ini, Syahrul kembali menunjukkan kepiawaiannya memperlihatkan “bargaining power” Sulsel sebagai lumbung pangan.

Dalam beberapa kesempatan Syahrul mengundang para anggota DPR RI dan Ketua Umum Partai untuk melakukan panen raya di Sulsel, sebut saja Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Syahrul seakan ingin menunjukkan inilah pertanian Sulsel, provinsi yang memberi makan 22 provinsi lain di Indonesia, provinsi yang menjadi pilar utama pemenuhan kebutuhan pangan negara.

“Saya berharap agar pemotongan anggaran jangan menyentuh hal-hal yang sangat strategis, dan bendungan adalah salah satu hal strategis yang mempengaruhi kehidupan banyak orang apa lagi di Sulsel. Kalau sektor pertanian Sulsel bersoal, suplai pangan nasional akan bersoal, makanya kita harus diprioritaskan, ” kata Syahrul.

Penyelesaian ke-empat bendungan besar ini akan menjadi tugas besar bagi pemerintahan berikutnya, mengingat Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu`mang akan mengakhiri masa jabatannya pada April 2018. Di pundak pemerintahan selanjutnyalah tanggung jawab berat untuk memastikan keberlanjutan kejayaan sektor pertanian Sulsel. (*)


BACA JUGA