Puisi dalam Synthpop Racikan Clementine adalah Menu Berbeda
Makassar, GoSulsel—Baru sepekan, band ini secara resmi memerkenalkan diri ke publik, khususnya di kalangan anak muda kota Makassar. Clementine yang mengusung kuartet synthpop asal Makassar ini sudah mulai lebih intens tampil dari panggung ke panggung berbagai event.
Awal April ini Clementine merilis album pertamanya bertajuk “Mahamaya”. Album ini terdiri atas tujuh lagu yang bercerita perihal dunia maya, imajinasi, dan harapan. Band ini digawangi oleh Nita (vokal), Iwan (synthesizer), Kamil (synthesizer), dan Tesa (synthesizer).
Tesa yang juga penulis lirik beberapa lagu Clementine mendaku, album yang dikerjakan selama dua tahun ini, memiliki corak synthpop dan new wave 80-an, yang terinspirasi utamanya dari Madonna, New Order, dan Depeche Mode.
Namun, Kamil personil lainya mengakui bahwa beberapa band beraliran pyschedelic turut memengaruhi mereka, semisal Pink Floyd.
Ada dua hal yang menarik menjadi semacam bahan pembacaan terhadap band yang mengerjakan materi-materi dalam albumnya ini, banyak dipengaruhi bacaan literaratur dan pengamatan kritis pada situasi zaman mereka.
Pertama genre synthpop yang dipilih seakan mencoba memberikan distorsi bunyi lain ditelinga anak-anak muda kota -dengan beragam kuliner enak ini- dengan bunyi-bunyi yang terlanjur mapan ditelinga seperti bebunyian folk misalnya. Kedua bila memeriksa denyut pikiran dari visi band ini, dengan sangat jelas ada keinginan kuat menjadikan musik mereka sebagai salah satu cara pengucapan bagi kaum intelektual, mirip-mirip visi dari Efek Rumah Kaca (ERK) dengan daya kritis intelektualnya selain tentu skil bermusik yang tidak asal-asalan. Clementine lalu turut memusatkan perhatian juga pada lirik lagu. Beberapa meteri lagu dalam albumnya, adalah puisi-puisi karangan penyair Makassar, sebutlah Nocturnal karya penyair Muharry Wahyu Nurba.
Synthpop dan warna New Wave serta perhatian pada lirik puisi (ataupun puitis dalam pengertian pemilihan diksi yang kuat) cukup kuat sebagai nyawa sebuah band bernama Clementine ini. walaupun mungkin itu bukan hal baru, jagat skena musik Indonesia mencatat misalnya The Upstairs yang mengusung New Wave 80-an dengan lirik yang kuat.
Perihal Synthpop sendiri bisa dilacak lebih serius. Sebuah riset sederhana namun unik dilakukan lima anak SMA Singkawang, yakni Ayu R. Aristya, Indri Pradita,Ridho S Nugraha, Anisa Amalia, dan Susi Susanti. Yang mengamati perkembangan Synthpop dengan judul makalah “Sejarah dan Perkembangan Musik Pop Mancanegara serta Synthpop Sebagai Subgenre Musik Pop” (2013) ini lalu dipublikasikan dalam blog pribadi Ayu R Asritya tahun 2013 lampau.
Dalam catatan lima anak berseragam putih abu-abu itu, Synthpop – juga biasa dikenal sebagai electropop atau technopop- adalah bentuk dari musik elektronik populer yang menggunakan synthesizer sebagai instrumen musikal dominannya, yang populer pada tahun 1978 sampai 1981. Genre musik ini terlihat kembali populer dan pengaruhnya sejak tahun 2000-an. Electropop atau juga ditulis Electro-pop adalah nama singkatan dari electronic pop. Synthpop adalah genre musik populer yang pertama menjadi menonjol di tahun 1980, di mana synthesizer adalah alat musik yang dominan.
Melacak hulu Synthpop kita akan menemukan musik pop atau juga seringkali disebut dengan istilah musik populer. Secara kasar sebenarnya musik pop diartikan sebagai sejenis musik massif dan populer, yang bertujuan ramai dan bukan musik ‘sepi’. Musik pop adalah sebuah genre musik dari musik populer yang berasal dalam bentuk modern pada 1950-an, yang berasal dari rock and roll. Istilah musik populer dan musik pop sering digunakan secara bergantian, meskipun yang pertama adalah deskripsi musik yang populer (dan dapat termasuk gaya apapun), sedangkan yang terakhir adalah genre tertentu yang mengandung kualitas daya tarik massa.
David Hatch dan Stephen Millward mendefinisikan musik pop sebagai “a body of music which is distinguishable from popular, jazz and folk musics” (sejenis musik yang dapat dibedakan dari musik populer, jazz, dan folk).
Musik pop sebagai genre biasanya dianggap sebagai genre yang ada dan berkembang secara terpisah. Dengan demikian “musik pop” dapat digunakan untuk menggambarkan sebuah genre terpisah, yang ditujukan untuk pendengar berusia muda, dan sering dianggap sebagai alternatif yang lebih lembut dari rock and roll.
Sementara Synthpop sebagai turunan dari musik elektronik mengandung unsur dari jejak gaya Disco , new wave , elektronik , pop , post-punk , glam rock , Krautrock. Yang tak kalah pentingnya, instrumen dalam genre musik ini yang sedikit perlu ditelisik. Synthesizer musik elektronik yang dapat digunakan secara praktis dalam sebuah studio rekaman mulai ada pada pertengahan 1960-an, , pada waktu yang sama musik rock mulai muncul sebagai genre musik yang berbeda. The Mellotron , sebuah elektro-mekanis , polyphonic sampel- pemutaran Keyboard disusul oleh synthesizer Moog , diciptakan oleh Robert Moog pada tahun 1964, menghasilkan suara yang benar-benar elektronik.
Munculnya synthpop telah digambarkan sebagai peristiwa penting dalam musik melodi. Pada tahun 1980 synthesizer telah menjadi jauh lebih mudah digunakan. Synthesizer mendominasi musik pop dari awal 1980-an, terutama melalui adopsi mereka oleh band-band dari gerakan irama dari New Romantic. Synthpop mencapai puncaknya di Inggris pada musim dingin tahun 1981-2, dengan band-band seperti Manoeuvres Orkestra di Dark, Jepang, Ultravox, Depeche Mode dan bahkan Kraftwerk.
Puisi dalam Syhthpop
Pembacaan menarik lainya dari Clementine dan berhubungan dengan pilihan genre tadi, adalah unsur puisi dalam lirik lagu. Pada materi lagu Clementine, puisi pun dipilih dengan sengaja yang tidak bicara melulu perasaan mendayu-dayu basah. Pilihan menonjolnya adalah kritis dan reflektif.
Clementine banyak bicara pada tema kehidupan, toleransi dan sosial-politik. Salah satu lagunya berjudul “Sesama” adalah lagu yang bercerita tentang problematika keberagaman. Menurut mereka, lagu tersebut didedikasikan untuk tokoh toleransi dan intelektual Ahmad Wahib dan Prof. Qasim Mathar.
“Lagu ini adalah hasil bacaan kami terhadap tulisan-tulisan para tokoh toleransi dan intelektual. Khususnya, Ahmad Wahib dan Qasim Mathar,” ungkap Tesa, selain menjadi pengampu media daring alternatif juga berprofesi dokter gigi dalam percakapan chating sosial media usai launching labum pertama mereka, Mahamaya.
Selain dari itu personil Clementine lainnya, Nita menuturkan bahwa lagu ini adalah refleksi akan gejala-gejala intoleransi yang merebak belakangan ini.
“Bukan ji mau sok, tapi ini keresahan kami sebagai anak band dalam melihat fenomena ini. Padahal Indonesia sudah mengenal keberagaman dari dulu kan?” lanjut Nita.
Lima tahun belakangan ini, di Makassar sendiri muncul beberapa band atau kelompok musik yang memasukan puisi sebagai bagian dari kekuatan musik mereka. Mereka yang familiar dengan konsep ini, pasti tak asing dengan istilah musikalisasi puisi. sebelum tahun 2000-an hingga era generasi milinial pengaruh genre balada dalam musikalisasi puisi nyaris tak lekang. Bila kemudian ada pergeseran karakternya pun tidak terlalu berbeda, ada pilihan blues dan folk disana. Namun dalam bentuk pembacaan yang ngebeat berdentam agaknya masih cukup asing ditelinga. Clementine mencoba itu. Walaupun dalam pembacaan puisi slam unsur hip-hop terdengar kuat, namun Synthpop yang dibawakan Clementine tetap harus didengar berbeda dari itu.
” Kami akui ini adalah eksperimen dan Clementine masih terus belajar untuk itu,” pungkas Tesa dalam nada yang tak bermaksud merendah namun bersungguh-sungguh dengan itu.
Tetapi bagi pegiat literasi ataupun mereka kalangan anak muda intelektual dan gerakan, mendengarkan tempo nada beat-beat dari Clementine sungguh patut dicoba.(*)