Guru Besar IPB Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS Menjelaskan Teknologi Pangan SKM

Belajar dari Polemik Susu Kental Manis, Ini Fakta-fakta Benarnya

Selasa, 14 Agustus 2018 | 18:36 Wita - Editor: Irwan AR -

Depok,Gosulsel.com— Kehebohan mengenai susu kental manis terutama dalam setahun terakhir menarik perhatian dari para akademisi dan peneliti gizi dari berbagai perguruan tinggi. Isu susu kental manis yang ramai muncul di media juga telah ditanggapi oleh BPOM melalui jumpa pers resmi mereka yang akhirnya meluruskan bahwa susu kental manis adalah produk susu. Tetapi kemudian seolah tenggelam dalam gencarnya arus berita mengenai isu susu kental manis.

Untuk menjawab berbagai informasi yang simpang siur tentang susu kental manis, Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengadakan seminar sehari berjudul “Literasi Gizi : Belajar dari Polemik Kasus Susu Kental Manis,” pada Jumat (10/08) di Universitas Indonesia sesuai rilis yang disampaikan, Selasa 13 Agustus 2018.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2017 konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 16,5 liter/kapita/tahun. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan data USDA Foreign Agricultural Service 2016 (PDF) untuk Malaysia (50,9 liter), Thailand (33,7 liter), dan Filipina (22,1 liter). P

Produksi susu segar di Indonesia sendiri baru mencapai 920.093,41 ton pada 2017. Angkanya hanya naik 0,81 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 912.735,01 ton. Dari angka ini, dapat dilihat bahwa budaya minum susu di Indonesia masih rendah. Dan dari berbagai jenis susu yang beredar di pasaran, susu kental manis merupakan jenis susu yang paling banyak dibeli oleh masyarakat Indonesia.

Guru Besar IPB Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS menyatakan bahwa susu kental manis terbuat dari susu segar, kemudian ada kandungan lain seperti susu skim, susu skim powder, gula, lalu ada susu bubuk whey, buttermilk powder, serta palm oil.

“Susu kental manis adalah produk susu berbentuk cairan kental yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian air dari campuran susu dan gula hingga mencapai tingkat kepekatan tertentu. Atau, merupakan hasil rekonstitusi susu bubuk dengan penambahan gula, dengan atau tanpa penambahan bahan lain. Gula yang ditambahkan digunakan untuk mencegah kerusakan produk. Produk susu kental manis lantas dipasteurisasi dan dikemas secara kedap (hermetis),” jelas Ahmad.

Pakar gizi sekaligus Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia (PKGK UI) Ir. Ahmad Syafiq M.Sc., Ph.D menyampaikan bahwa susu kental manis memiliki kandungan energi yang diperlukan untuk mendukung pemenuhan gizi masyarakat, termasuk anak-anak.

“Susu kental manis tidak masalah dikonsumsi secara proporsional. Tapi kalau sudah berlebih, apapun juga tidak boleh. Kandungan lemak dan gula dalam susu kental manis sudah diatur dalam Perka BPOM 21/2016 tentang Kategori Pangan dan Standar Nasional Indonesia Nomor 2971: 2011 tentang susu kental manis. Dalam aturan tersebut disebutkan kombinasi gula dan lemak pada produk ini adalah 51-56 persen dengan kandungan gula 43-48 persen. Susu kental manis sebagai minuman harus dicampur dengan air, sehingga setelah dilarutkan sesuai saran penyajian, kandungan susu kental manis memiliki kadar lemak susu tidak kurang dari 3,5 gr, total padatan susu bukan lemak tidak kurang dari 7,8 gr, dan kadar protein tidak kurang dari 3 gr,” jelas Ir. Ahmad.

“Perlu diingat bahwa semua jenis makanan saling melengkapi. Tidak ada makanan atau minuman tunggal yang mampu memenuhi kebutuhan gizi seseorang. Siapa saja boleh mengonsumsi susu kental manis dalam jumlah tidak berlebihan. Namun perlu diingat, susu kental manis tidak cocok untuk bayi (0 – 12 bulan) dan bukan untuk menggantikan ASI. Susu kental manis boleh disajikan sebagai minuman, tetapi tentu untuk balita harus disesuaikan penyajiannya dan bukan sebagai asupan tunggal.,” ujar Ir. Ahmad.

Kementerian Kesehatan pada 2015 lalu menggelar Survei Diet Total untuk masyarakat Indonesia yang menunjukan data bahwa masyarakat Indonesia masih kekurangan pasokan energi. Itu belum termasuk kekurangan asupan gizi lainnya, sehingga konsumsi gula secara wajar tidak menjadi persoalan karena unsur makanan ini adalah sumber energi. Kondisi tubuh yang kekurangan energi justru berbahaya bagi tumbuh kembang anak. Sebab, tubuh secara otomatis akan memenuhi kebutuhan energinya dengan mengambil protein dan lemak pada tubuh. Padahal, dua unsur makanan tersebut merupakan kebutuhan utama bagi pertumbuhan. Survei Diet Total tahun 2014 juga menemukan bahwa pada anak balita di Indonesia, rata-rata konsumsi susu kental manis tergolong rendah yaitu hanya 9,4 gram per hari dan hanya memberikan kontribusi konsumsi gula yang juga rendah yaitu hanya 5 gram per hari, masih jauh di bawah anjuran WHO mengenai konsumsi gula tambahan yang dibolehkan yaitu 50 gram per hari.

Anggota Dewan Pengurus Pusat Persatuan Ahli Gizi (PERSAGI) Dr. Marudut Sitompul MPS menjelaskan, “Susu kental manis memiliki dua karakteristik dasar, yaitu memiliki kadar lemak susu tidak kurang dari 8 persen serta kadar protein tidak kurang dari 6,5 persen (plain). Namun, sejumlah data tidak resmi yang beredar menyebutkan bahwa kandungan gula dan lemak di susu kental manis lebih dari 70 persen dimana kandungan gula melampaui 60 persen. Data ini memunculkan persepsi yang salah mengenai susu kental manis, sehingga berpotensi menimbulkan polemik.”

Menyikapi polemik terkait susu kental manis, semua pakar gizi ini sepakat bahwa baik pemerintah dan masyarakat harus terus meningkatkan upaya peningkatan literasi gizi serta terus melaksanakan upaya menyusun kebijakan berbasis evidens. Dalam seminar ini selain menyampaikan fakta bahwa susu kental manis adalah susu, diperlukan juga adanya komunikasi, informasi, edukasi, dan advokasi (KIEA) gizi agar kehebohan yang tidak perlu mengenai susu kental manis ini tidak berujung pada pengambilan keputusan dan pilihan keliru baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah. Hasil-hasil penelitian mengenai literasi gizi menunjukkan bahwa literasi gizi masyarakat Indonesia masih rendah. Publik juga diharapkan tidak mudah terpancing oleh infomasi yang simpang siur dan belum terbukti kebenarannya. Serta media diharapkan bisa menjadi jembatan untuk penyampaian informasi yang berdasarkan pada bukti ilmiah dari narasumber terpercaya.(*)