Curhatan Pengungsi Rohingya Makassar: Kalau Rindu Orang Tua, Cuma Bisa Menangis

Selasa, 21 Agustus 2018 | 00:17 Wita - Editor: Irwan Idris - Reporter: Muhammad Fardi - GoSulsel.com

Makassar, Gosulsel.com – Seperti hidup dalam sangkar. Kalimat inilah yang paling tepat menggambarkan kondisi pengungsi Rohingya di Kota Makassar. Bagaimana tidak, gerak hidup serba dibatasi aturan ketat, jika melanggar, sanksi tegas menantinya.

Kondisi ini menjadi curhatan salah satu pengungsi Rohingya di Makassar, Ruby. Curhatan itu disampaikan pada kegiatan dialong keummatan yang mengusung tema “Pengungsi Rohingya Mencari Keadilan” di salah satu kedai, di Jalan Toddopuli 10, Kecamatan Manggala, Makassar, pada Senin (20/8/2018).

pt-vale-indonesia

Ruby menuturkan, selama kurang lebih 6 tahun di Makassar, batinnya sangat tersiksa. Pasalnya, Indonesia hanyalah tempat persinggahan bagi pengungsi Rohingya, untuk selanjutnya dipindahkan ke negara ke 3 atau negara tujuan. Sesuai aturan, di negara persinggahan hanya diperbolehkan 2 sampai 3 tahun, namun ada pengungsi Rohingya hingga belasan tahun belum memiliki kejelasan status.

Parahnya, kehidupan pengungsi Rohingya sangat dibatasi. Di Indonesia mereka tidak diperbolehkan mencari kerja (nafkah), tidak bisa menempuh pendidikan, dianggap melanggar jika menikah. Bahkan untuk pulang ke negara asal pun melanggar.

Akibatnya, jika rindu sama keluarga, Ruby hanya bisa menumpahkan air mata.

“Saya tidak bisa apa-apa di sini. Kalau rindu sama orang tua, saya hanya bisa menangis saja,” kata Ruby di hadapan Forum Komunikasi Pengungsi Rohingya, Lembaga Bantuan Hukum Keummatan dan rekannya sesama pengungsi Rohingya.

Ruby adalah salah satu dari 16 pengungsi Rohingya yang telah memperistrikan Warga Negara Indonesia (WNI). Hanya memang, berbeda dengan hubungan suami istri pada biasa, jika menginap di kediaman istri, pengungsi Rohingya dianggap melanggar, sanksinya adalah dijebloskan ke balik jeruji besi.

“Tidak bisa bermalam di rumah istri, sah di agama tapi tidak sah di negara. Pertama kita pilih agama dulu karena kita Islam. Satu malam saja di rumah istri, dibawa ke (Lapas) bolangi, ada sanksi juga,” ujar Ruby yang tidak bisa lagi menahan linangan air matanya.

Dia menceritakan, sebagai pengungsi Rohingya, pihaknya juga memiliki batas waktu untuk kembali ke Asrama yang telah disediakan. Keluar pada waktu sholat subuh, dan harus kembali ke asrama paling lambat pukul 22.00. Jika melanggar, sanksi tegas menanti.

“Hidup dipersulit dan dipersusah,” ujarnya.

Dia menceritakan, satu pengungsi rohingya hanya disantuni uang saku sebesar Rp1,2 juta per bulan. Sementara bagi yang sudah mempersunting WNI, uang sakunya ditarik.

Masih lanjut Ruby, sebagai manusia pada umumnya, pasti memiliki masa depan. Tapi yang selalu menghantui batinya lantaran tidak memiliki cerminan masa depan. Dia dihantui, jika seumur hidupnya seperti saat ini.

Tidak segan-segan, dia mengaku lebih baik dibunuh di Indonesia, daripada harus hidup tersiksa dengan tekanan psikilogis yang berat.

“Saya belum dapat masa depan, tidak tau masa depan saya, di mana saya kerja, apakah saya punya rumah. Saya tidak tau masa depan saya. Saya tidak takut jika dibunuh di sini. Lebih baik dibunuh daripada begini terus,” tandasnya.(*)