Mengejutkan, Pernikahan Dini di Sulsel Capai 720 Bocah
Makassar,GoSulsel.com – Jumlah perkawinan anak di Sulsel terbilang cukup tinggi. Dalam delapan bulan terakhir, 720 bocah Sulsel dinikahkan dini.
Ketua Tim Penggerak PKK Sulsel, Liestiaty F Nurdin, mengungkapkan, Sulsel kerap menjadi sorotan media lokal hingga nasional, karena terjadinya perkawinan anak. Femomena perkawinan anak ini terjadi merata di seluruh Indonesia.
“Delapan bulan terakhir, 720 bocah Sulsel dinikahkan dini. Ini tidak main-main. Kantor Urusan Agama, Pengadilan Agama, dan pemerintah setempat, jangan memberikan peluang untuk mereka,” kata Lies saat menghadiri Deklarasi dan Sosialisasi Pencegahan Perkawinan Usia Anak, di Kabupaten Maros, Senin (17/9).
Menurut Lies, perkembangan teknologi informasi, menjadi salah satu penyebab tingginya angka perkawinan anak. Karena itu, anak sebaiknya diawasi dalam penggunaan gadget.
“Perkawinan anak merupakan praktek buruk, karena mengancam tumbuh kembang anak. Pendidikan, kesehatan, dan kualitas keluarga, mereka akan bersoal. Saat mereka hamil, rahimnya sebenarnya belum siap menerima jabang bayi,” terangnya.
Ia menuturkan, meskipun Sulsel banyak disorot media terkait perkawinan anak, namun belum bisa digolongkan bahwa Sulsel dalam kondisi darurat. Tetapi, seluruh stakeholder harus berkomitmen, tidak ada toleransi terhadap pelaku eksploitasi anak.
“Mengawinkan anak di usia masih muda juga kekerasan anak. Perempuan berpotensi pendarahan, melahirkan anak berkebutuhan khusus, menjadi korban eksploitasi seksual, hingga KDRT. Tingginya usia perceraian juga bisa disebabkan oleh pernikahan dini,” ungkapnya.
Lies mengajak seluruh jajaran PKK dan organisasi kewanitaan untuk bersama-sama mensosialisasikan, agar para orangtua tidak menikahkan anaknya di usia muda. Dimulai dengan membuat pemetaan, daerah mana saja yang rawan perkawinan anak.
Dalam kunjungannya ke Kabupaten Maros, Lies juga mengunjungi Tempat Penitipan Anak (TPA) di Kantor Bupati Maros, serta sentra pembuatan “Lamming” dan pakaian pengantin adat Sulsel.
Sebelumnya, Kepala Bidang Data dan Informasi Gender dan Anak DPPPA Sulsel, Suciati Sapta Margani mengatakan pernikahan dini ini kerap terjadi karena masyarakat masih kurang patuh terhadap aturan yang ada. Terutama masalah agama dan hukum yang berlaku di Indonesia. Selain itu juga, karena masih kurangnya pengetahuan terkait dampak dari pernikahan usia dini.
Menurutnya, orang tua menjadi kunci dalam upaya penurunan prevalensi perkawinan usia dini ini, oleh karena itu perlu adanya edukasi bagi orang tua. Dinas PPPA berupaya melakukan penguatan kapasitas lembaga/organisasi masyarakat dalam hal pemenuhan hak dan perlindungan anak ini.
“Harapannya, lembaga yang dilatih ini dapat menjadi kepanjangan tangan DPPPA di level masyarakat melalui keluarga dari anggota masing-masing lembaga, untuk menyuarakan pemenuhan hak dan perlindungan anak, termasuk hak pendidikan dan pencegahan dari perkawinan usia dini,” jelasnya, Rabu (5/4/2017).
Selain itu, melalui program ketahanan dan kualitas keluarga, DPPPA juga melakukan edukasi kepada para kader di tengah masyarakat untuk meningkatkan kualitas parenting dan kesetaraan gender dalam keluarga.
Lebih penting lagi untuk mendorong komitmen pemerintah daerah dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak, pencegahan pernikahan usia dini menjadi salah satu indikator dalam pencapaian predikat kabupaten/kota layak anak di Sulsel.
Untuk itu, sesuai dengan UU perlindungan anak, usia layak menikah adalah diatas 18 tahun, hal ini akan baik untuk pihak laki-laki maupun perempuan. Serta mempertimbangkan aspek psikologis, keseharan, mental dan kesiapan ekonomi.
“Kematangan psikologis, kesehatan dan mental, erat kaitannya dengan usia. Pada pasangan usia anak, belum memahami hak dan kewajiban dalam rumah tangga karena belum adanya kematangan fisik maupun mental psikologis,” lanjutnya.
Suci juga menegaskan perkawinan usia dini melanggar sejumlah hak asasi manusia yang dijamin oleh Konvensi Hak Anak (KHA), salah satunya adalah hak atas pendidikan. Perkawinan usia dini ini juga mengingkari hak anak untuk memenuhi potensi mereka, karena mengganggu bahkan mengakhiri pendidikan mereka.
“Sekolah dan perkawinan usia anak mempunyai keterkaitan yang bersifat kausalitas. Jadi, putus sekolah akan mendorong anak perempuan untuk dinikahkan atau sebaliknya, anak perempuan dinikahkan untuk mengakhiri sekolahnya,” ungkapnya. (*)