Mengajak Generasi Milenial Bertani
Makassar, Gosulsel.com – Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) pada dekade 2003-2013. Penurunan jumlah RTP dalam kurun waktu sepuluh tahun tersebut tercatat signifikan, semula berjumlah 31,23 juta RTP pada tahun 2003 menurun menjadi 26,13 juta RTP atau turun 16,3 persen di tahun 2013. Sebabnya, para petani kini didominasi oleh usia tua, 40 tahun ke atas, sementara generasi yang lebih muda lebih memilih bekerja di kota.
Data BPS juga menunjukkan hanya 12 persen dari total RTP yang ada saat ini berusia di bawah 35 tahun. Sisanya merupakan petani tua berusia di atas 45 tahun. Data lain menunjukkan hanya tiga persen anak petani yang melanjutkan kiprah orang tuanya sebagai petani.
Bidang perkebunan kakao misalnya, data menunjukkan hanya 16% petani yang aktif mengelola kebunnya berusia di bawah 35 tahun. Jumlah ini akan menjadi lebih meresahkan jika menambahkan data petani yang berusia di atas 55 tahun yang mencapai 23%.
“Kondisi petani di mana rata-rata umur petani kita 35-45 tahun masih ada gap. Beberapa industri sudah membaca hal ini kemudian memberikan program bagaimana memberikan daya tarik kepada pemuda untuk masuk ke wilayah pertanian,” ungkap Arie Nauvel Iskandar, Ketua Asosiasi Kakao Nasional (Askindo), dalam Focus Group Discussion bertema mengembalikan kejayaan kakao sebagai identitas masyarakat Sulawesi Selatan, di gedung Pusat Kegiatan Penelitian Unhas, Sabtu (27/10/2018).
Menurut Arie, dalam keterangan tertulis kepada Gosulsel.com, bahkan di dunia di digital, milenial tidak begitu memahami secara jelas, sehingga informasinya harus diisi dan menjadi tanggung jawab bersama bagaimana memberikan daya tarik untuk petani muda.
“Kita harus mengisi kekosongan informasi khususnya tentang kakao untuk yang muda dan milineal. Buku-buku yang bapak terima tadi ini adalah salah satu inisiasi oleh MARS bagaimana memberikan informasi sejak dini di tingkat SD supaya mereka tahu bahwa kakao mempunyai masa depan,” katanya.
Terkait komoditas kakao yang kini didorong menjadi salah satu komoditas unggulan Sulsel, Arie menilai bahwa persoalan kakao relatif sama dari tahun ke tahun.
“Kita semua sudah tahu masalahnya seperti apa. Tinggal kita bagaimana menghilangkan ego sektoral, karena terus terang bagaimana kita harus meningkatkan produksi dan kualitas biji kakao harus ada kolaborasi dan ini harus didorong dari pemerintah. Itulah masalah yang kita hadapi saat ini.”
Persoalan data, lanjut Arie, juga harus menjadi prioritas yang harus diselesaikan. “Persoalan data ini menjadi persoalan seperti aksesoris untuk program besar kementerian, bukan menjadi bahan dasar. Saya lihat kalau mereka menentukan target, datanya mereka mengikuti target.”
Arie menyatakan bahwa kakao seharusnya menjadi prioritas program jika ingin menyejeterahkan petani. Dibandingkan sawit dan karet, jika dikelola dengan baik dan benar, kakao lebih jauh lebih menguntungkan dan meningkatkan penghasilan petani.
“Kakao lebih kompetitif dibandingkan dari karet dan sawit.”
Dia juga berharap upaya-upaya dalam meningkatkan produktivitas kakao tidak sekedar hanya menjadi tujuan kementerian saja tetapi juga harus memperhatikan komitmen-komitmen yang ada pada Sustainable Development Goals (SDGs).
Sepakat dengan Arie, Wahyu Wibowo, Koordinator Cocoa Sustainable Partnership (CSP), menyatakan bahwa salah satu masalah yang ada sekarang adalah terkait data, sehingga perlu dilakukan reinventarisasi data dan melakukan survei yang lebih baik.
Terkait permasalahan kakao secara umum, menurutnya telah diketahui bersama namun kemudian begitu sulit untuk diselesaikan. Untuk menggerakkan petani dalam mengerjakan adopsi yang disarankan makan orientasinya harus selalu dikedepankan pada keuntungan petani.
“Permasalahan kakao harus dilihat bahwa petani harus untung, karena jika mereka untung maka tanpa disuruh pun mereka anak bekerja,” katanya.
Menurutnya, tingkat adopsi sangat penting bahkan petani mungkin sudah bosan. CSP sendiri sudah melatih banyak petani tapi yang melakukan adopsi hanya sekitar 20%, berarti tingkat adopsi yang sangat rendah.
CSP juga sudah melakukan gugus tugas mengenai pupuk dan kita sudah mulai menghasilkan pupuk yang sesuai dengan kakao dan kini tengah mengajukan proposal untuk membangun pertanian kakao dengan membentuk kebun induk.
Wahyu juga menyoroti pentingnya keberadaan tenaga pendamping yang dinilainya sangat penting. “Kebutuhan tenaga pendamping sangat penting, dan diperlukan coaching yang terus menerus.”
Siktus Gusli, pakar kakao dari Universitas Hasanuddin, menyoroti efektivitas berbagai program pemberdayaan petani yang dilakukan selama ini.
“Gernas tahun 2009 mana ada pengaruhnya. Program yang dilakukan sudah sangat banyak tapi belum ada yang berubah. Bahwa yang namanya bertanam itu harus sustainable dengan 3 prinsip: komoditas, masyarakat dan lingkungan,” katanya.
Menurutnya, lingkungan yang tidak sehat saat ini adalah dampak dari tidak kegiatan yang tidak sustainable kegiatan yang dilakukan di masa lalu, sehingga berbagai upaya pemulihan tanah harus dilakukan.
Direktur Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Selatan Dwiyapoetra Soeyasa Besar menyoroti ekspor kakao yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sehingga peran petani dan perusahaan sangat penting. Apalagi tingkat konsumsi global cokelat yang terus meningkat, khususnya di Amerika Serikat dan Australia.
“Produksi kakao Ekuador akan mulai mengalahkan Indonesia. Data BI urutan Indonesia pada posisi 6. Produksi terus menurun dan luas daerah pun semakin menurun.” Menurutnya, kelembagaan petani juga sangat penting yang menghubungkan petani dengan perbankan. Ia kemudian mengusulkan perlu ada kelembagaan petani dalam bentuk BUMDES yang mengelola kakao.(*)