Pengamat Psikologi Politik Bilang, Gangguan Jiwa Ringan Masih Relevan Ikut Pemilu
MAKASSAR, GOSULSEL– Masuknya pengidap gangguan kelainan jiwa sebagai pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 memantik kontroversi.
Lalu bagaimana dalam pandangan psikologi soal ini?
Ditinjau dari sisi Psikologi Politik, Muhammad Rheza, pengajar Psikologi dari Universitas Negeri Makassar (UNM) yang mendalami Psikologi Kriminal dan Politik justru mengajak untuk melihat lebih dalam makna dari gangguan jiwa.
Menurut pandangannya, gangguan jiwa secara sederhana adalah terhambatnya peran sosial individu. Hal ini menyebabkan terjadinya kesulitan pada aspek pikiran, emosi, dan tindakan.
“Menurut saya, gelombang penolakan dari masyarakat karena sempit memahami definisi gangguan jiwa tadi,” ungkapnya saat dihubungi, Rabu (21/11/2018).
Gangguan jiwa berdasarkan penjelasannya memiliki tingkat berbeda-beda dan beragam. Gangguan jiwa mulai yang paling ringan seperti cemas berlebihan hingga paling berat yaitu gila.
Sementara itu, pada tingkat yang sangat parah terjadi saat respon pikiran, emosi, dan tindakan penderita tidak relevan dengan situasi atau lingkungan di mana ia berada.
“Hanya saja, barangkali masyarakat pada umumnya memahami gangguan jiwa dengan penyakit jiwa yaitu gila,” pikirnya.
Jika dikaitkan dengan keikutsertaan pengidap gangguan jiwa terkategori ringan seperti gangguan kecemasan Reza merasa tidak masalah.
“Nah kalau gangguan jiwa ringan seperti cemas tentu tidak masalah jika ikut menggunakan hak pilih,” pandangnya.
Atas dasar itu, adanya keterangan dokter bagi pengidap gangguan jiwa menjadi syarat yang relevan dalam hal ini.
“Surat keterangan dokter adalah garansi jenis gangguan jiwa yang masih relevan menggunakan hak pilih,” terangnya.
Relevan yang dimaksud adalah penderita gangguan jiwa yang secara kognitif (pikiran), emosi, dan perilaku masih bisa “terkoneksi” dengan situasi politik yang dihadapi.
“Karena gangguan jiwa ada berbagai macam dan tingkat keparahan, maka mereka yang mengalami gangguan ringan masih bisa terkoneksi pikiran, emosi, dan perilakunya dengan peristiwa politik yang sedang dihadapi,” tutupnya.(*)