Maudu Lompoa Cikoang Digelar Warga Soreang Maros
MAROS, GOSULSEL.COM — Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dengan cara unik, yakni perahu yang dihias dengan berbagai ornamen, juga dilakukan warga Kelurahan Soreang Kecamatan Lau Kabupaten Maros, Sabtu (1/12/2018).
Ratusan warga yang terdiri dari anak-anak hingga orang dewasa berkumpul di bawah replika perahu pinisi yang terpasang di halaman rumah warga.
Para warga ini sengaja menunggu untuk mengambil bingkisan, berupa telur dan aneka makanan yang digantung dan tersimpan di replika perahu phinisi tersebut.
Menurut seniman dan pemerhati budaya lokal Maros, Ilham Halimsyah, tradisi ini telah dilakukan turun-temurun dan digelar warga sebagai bagian dari tradisi Maudu Lompoa Cikoang di Takalar.
“Berdasarkan kisah yang disampaikan oleh tokoh masyarakat, Karaeng Hamza S Campa, warga Soreang Maros sudah mengenal tradisi maudu lompoa ala Cikoang tersebut sejak sekitar 80 tahun yang lalu,” ujarnya.
Warga Soreang yang menggelar tradisi ini masih memiliki hubungan kekerabatan dengan penyebar agama Islam di Cikoang Takalar, Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al’ Aidid.
Sayyid Djalaluddin merupakan ulama besar asal Aceh, cucu Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, keturunan Arab Hadramaut atau Arab Selatan, masih keturunan Nabi Muhammad SAW yang ke-27. Dia tiba di Kerajaan Gowa pada abad 17, masa pemerintahan Sultan Alauddin. Kemudian diangkat menjadi Mufti Kerajaan.
Saat Putra Mahkota kerajaan Gowa lahir, oleh Sayyid Djalaluddin diberi nama Muhammad al-Baqir I Mallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin, yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Nasional.
Selanjutnya, para keturunan Sayyid Djalaluddin ikut menyebar agama Islam di pelosok Sulsel, hingga kemudian tiba di Maros. Perayaan Maulid Nabi di Cikoang yang sudah berlangsung sejak tahun 1632 Masehi dan diteruskan oleh para keturunannya.
“Setiap tahun keluarga dan kerabat Sayyid Djalaluddin berusaha mengadakan peringatan Maulid Nabi dengan tradisi perahu, temasuk keturunannya yang berada di Soreang Maros, di antaranya Tuang Nena dan Dg Aminah, istri almarhum Tuang Nguse, pemilik rumah yang menggelar maulid perahu tersebut,” tambahnya.
Tradisi ini diawali dengan barazanji. Usai melakukan barazanji, ratusan warga yang tidak sabar menunggu hingga berakhirnya acara menyerbu replika perahu pinisi untuk mengambil isinya. Meski terlibat rebutan bingkisan, namun tradisi ini dilakukan untuk membangun silaturahmi antara warga.
Seorang warga, Anadia mengemukakan, dia hanya mendapat sebuah bingkisan tempat nasi yang berisi sejumlah makanan ringan. Walau tidak sempat memanjat kapal replika kapal, dia senang bisa dapat bingkisan.
Meski memiliki hubungan dengan tradisi maudu lompoa di Cikoang Takalar, namun perayaan maudu lompoa perahu hias di Soreang Maros ini sudah menyesuaikan dengan kondisi geografis setempat, yakni replika perahu hias hanya didirikan di daratan tanpa diarak atau dibawa ke sungai, seperti halnya di Takalar pada umumnya.(*)