Independensi dan Kebebasan Pers Hanya Semboyan
MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Kebebasan Pers pada praktiknya memang lebih sekadar jargon atau semboyan semata. Banyak pihak, terutama penguasa, terus berusaha mengendalikan pemberitaan pers sesuai dengan kepentingan kekuasaan dan bisnis.
Hal ini disampaikan Pakar Pendidikan Politik UNM, Dr Yasdin Yasir SPd MPd dalam diskusi akhir tahun Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel dengan tema independensi jurnalis di tahun politik, di warkop Press Corner, Jalan Pengayoman Makassar, Sabtu (15/12/2018).
Diskusi yang pandu dewan pengarah Pengda PJI Sulsel, Suriani Mappong juga menghadirkan Komisioner KPU Sulsel, Muh Asram Jaya dan Ketua Prodi Komunikasi UMI, Dr Hadawiah sebagai pembicara.
“Independensi media itu, bekerja dengan kebebasan atau bekerja dengan upah gratis. Pada tahun 80-an, media dihadapkan pada pilihan, pertama merdeka secara etik tapi tidak secara pembiayaan, diatur oleh pemodalnya, jurnalisnya disebar di pasar,” ujarnya.
Kata dia, terpasungnya kebebasan pers atau independensi jurnalis terjadi di banyak negara. Bahkan Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara liberal, pers atau media juga dikendalikan.
Menurut Yasdin, substansi independensi jurnalis berkaitan dengan transparansi informasi, belum sepenuhnya dapat dilaksanakan media massa. Sebab, budaya ketertutupan masih mendominasi karakter para elit publik yang seharusnya mengedepankan keterbukaan dalam memberikan informasi kepada media massa.
“Perusahaan media atau pers merupakan penyedia informasi yang bekerja sesuai kode etik. Jurnalis merupakan pilar ke 4 dengan fungsi penyalur informasi dalam sebuah negara,” ujarnya.
Posisi media memang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, membangun karakter media yang independen dan bebas dari kepentingan politik maupun bisnis, bukan pekerjaan yang mudah.
Sebab, membangun media yang independen, tambah Yasdin, diperlukan transparansi informasi dari kekuasaan negara. Hubungan integrative untuk mengedepankan perlunya transparansi informasi memerlukan proses panjang meskipun sejumlah regulasi pers dan media sudah ditetapkan dan mengamantakan agar media massa dan pemerintah menjalankan.
“Media dalam pemberitaannya tidak harus netral. Namun hal terpenting dalam pemberitaan media tidak untuk memfitnah,” ujarnya.
Kepemilikan media memiliki dampak yang signifikan, khususnya saat pemilu dan pilkada berlangsung. Hal ini bisa nyata terlihat saat media dimiliki pemimpin partai. Pada akhirnya kredibilitas mereka masih yang utama dan masyarakat yang kritis akan bisa mengetahuinya.
Namun, tambah Yasdin, kemunculan banyak media saat ini, pada akhirnya bisa membantu warga mendapat informasi yang akurat.
“Pluralisme media menjadi jawaban terhadap media yang partisan. Jika melihat satu media tidak berani menulis atau menyiarkan suatu hal karena punya kaitan dengan pemiliknya, maka kita bisa tinggalkan media itu dalam isu itu,” tambahnya.
“Anda tinggal pindah ke media yang lain. Jadi saya percaya betul bahwa ketidaknetralan media bisa dijawab dengan pluralisme media,” terangnya.(*)