Pengamat ekonomi Sulawesi Selatan (Sulsel), Rachmawati Mallafi, S.E, Ak.

Sulsel ‘Ramah’ Investasi Asing, Begini Pandangan Pengamat

Sabtu, 05 Januari 2019 | 23:43 Wita - Editor: Andi Nita Purnama - Reporter: Mutmainnah - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Indonesia dengan limpahan kekayaan luar biasa berada dalam cengkeraman neoliberalisme. Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi karena dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. 

Kenyataan ini juga kembali dicuatkan baru-baru ini bahkan oleh Nurdin Khalid saat membuka Dialog Nasional Akhir Tahun Alumni Universitas Negeri Makassar (UNM) bertema ‘Menakar Peran Alumni UNM Dalam Pembangunan Manusia Indonesia’ pada Minggu (30/12/2018) yang lalu di Hotel Claro, Jl. AP. Pettarani, Makassar.

Ia menyebutkan bahwa Indonesia menganut sistem ekonomi liberal yang baginya bertentangan dengan karakter Indonesia. Hal ini justru bisa jadi pemicu kehancuran bangsa.

“Kapitalis dan liberal bertentangan dengan bangsa kita. Ini adalah tanda-tanda kehancuran Indonesia,” serunya di hadapan para alumni UNM.

Penerapan ekonomi liberal dibuktikan dengan adanya privatisasi sektor publik seperti migas, listrik, jalan tol, dan lain-lain serta penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui Undang-Undang (UU) yang menyetarakan dengan swasta. Dalam istilah pengamat ekonomi, merupakan pelumpuhan negara menuju corporate state.

Berdasarkan pernyataan salah seorang pengamat ekonomi Sulawesi Selatan (Sulsel), Rachmawati Mallafi, S.E, Ak., hal tersebut akhirnya menyebabkan dari pihak asing dengan kekuatan dana besar mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah dan lahirnya UU yang pro asing. 

Diketahui, hingga kini ada lebih dari 76 UU yang draftnya diberikan pada asing seperti UU Migas, Penanaman Modal, Kelistrikan, dan lain-lain yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor vital di Indonesia. 

“Maka dengan liberalisasi ini, Indonesia sebenarnya sedang berada dalam cengkeraman neoimprealisme/penjajahan,” terang Rahma.

Dominasi asing terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia pun dapat terasa menurut Rahma dari kekayaan alam seperti minyak mentah yang dikuasai 72% oleh perusahaan asing, sementara Pertamina bersama sejumlah perusahaan patungannya hanya menguasai 23%. 

Lebih lanjut, wanita yang menyelesaikan program kuliah di Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Hasanuddin (Unhas) tersebut juga menyebutkan bahwa gas alam mayoritas diproduksi oleh enam perusahaan asing terbesar hingga 67%, sementara gas murni yang diproduksi Pertamina hanya sekitar 15% yang jika digabung dengan hasil kerja samanya dengan perusahaan swasta lainnya hanya mencapai 30%. 

“Belum lagi dominasi terhadap produksi batu bara, emas dan tembaga, perkebunan, telekomunikasi, perbankan, barang konsumsi, dan lain-lain. Artinya dominasi asing mencengkeram dari hulu sampe ke hilir,” tambah Rahma.

Bahkan kebijakan pemerintah untuk memperpanjang kontrak PT Freeport, justru menjadikan Indonesia makin membuktikan liberalisasi ekonomi di Indonesia menggurita kata Rahma.

Ditambah lagi kebijakan paket ekonomi ke XVI yang dikeluarkan pemerintah pada 16 November tahun 2018 yang salah satu paket kebijakannya memperolehnya perusahaan asing 100% investasi di 54 bidang usaha. 

“Bisa dibayangkan bagaimana kondisi Indonesia ke depan yang hakikatnya tidak lagi memiliki kedaulatan atas tanah sendiri, hanya sebagai penonton kalau tidak disibukkan dengan aktivitas ekonomi remeh temeh,” lirih Rahma.

Sementara itu, hal yang tak kalah mengecewakan untuk Rahma adalah kenyataan bahwa pemerintah setempat termasuk pemerintah Sulsel ikut mengamini kebijakan ini dengan menjadikan Sulsel ramah bagi investasi yang artinya semakin menguatkan investasi asing. 

“Padahal ekonomi adalah salah satu penentu kemandirian dan kekuatan sebuah negara, tapi bahkan pemerintah daerah terutama Sulsel malah ikut mendorong investasi asing masuk ke Sulsel,” heran Rahma.

Di akhir perbincangan dengan Gosulsel.com, Rahma kemudian berpikir tentang perspektif ekonomi baru. Wanita yang juga kini menjadi pembina Majelis Cinta Qur’an Sulsel mencoba menawarkan solusi ekonomi Islam.

Ia menyatakan bahwa Islam tidak mengenal investasi asing. Berbeda dengan ekonomi kapitalistik maupun liberal yang justru investasi asing adalah bagian terpenting, dimana salah satu poinnya adalah negara menjamin kebebasan individu dalam memiliki  (berekonomi, investasi) baik asing maupun warga negara. 

“Dalam Islam seluruh kekayaan alam yang melimpah atau apa saja yang menguasai hajat hidup orang banyak wajib dikelola oleh negara dan dikembalikan untuk kemaslahatan umat. Ini adalah tanggung jawab negara dalam memelihara urusan umat dan tidak boleh diserahkan kepada individu apalagi asing,” tandasnya.

Ia berpendapat, sistem ekonomi liberal atau kapitalis yang tidak cocok dengan karakter bangsa Indonesia bisa digantikan dengan alternatif sistem ekonomi Islam. Karena Islam dan karakter Indonesia dapat disatukan.(*)