Nurhira abdul kadir

Berbahayakah Jenazah Korban Bencana Alam?

Kamis, 07 Februari 2019 | 14:56 Wita - Editor: Irwan Idris -

GOSULSEL.COM — Pakar lingkungan memperkirakan bahwa di tahun-tahun mendatang bencana alam seperti banjir, gempa bumi, angin topan, dan longsor bukannya semakin jarang, malah akan lebih sering. Sebagian dari kerusakan alam itu adalah karena ulah manusia sendiri yang tidak amanah dalam memelihara alam karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain berupaya mengubah sikap dan perbuatan agar lebih peduli pada lingkungan, tugas kita adalah untuk terus belajar, menambah ilmu dan keterampilan dalam mencegah dan merespon bencana. Tulisan ini dimaksudkan sebagai klarifikasi terhadap pemahaman masyarakat terkait beberapa isu kesehatan pasca bencana.

Ada mitos yang berkembang bahwa penyakit menular bisa merebak akibat banyaknya jazad korban yang tidak segera dikubur. WHO (World Health Organization) dan pusat pemberantasan penyakit menular di Amerika Serikat, CDC (Centers for Disease Control), menegaskan belum ada cukup bukti bahwa jazad korban bencana alam dapat memicu munculnya penyakit menular. Bagi mereka yang berada di sekitar area bencana, apabila tidak terlibat langsung mengevakuasi jenazah, hampir tidak ada resikonya mengalami infeksi atau tertular penyakit dari jazad korban. Apalagi jika korban sebelumnya adalah seorang yang sehat wal ‘afiat.

Lalu bagaimana jika korban sebelumnya adalah seseorang yang sakit? CDC menyatakan bahwa di antara korban meninggal, mungkin ada yang semasa hidupnya membawa penyakit menular seperti AIDS, hepatitis, atau typhus, tetapi kuman mereka tidak dianggap pencemaran serius terhadap lingkungan dan beraktivitas di sekitar jenazah tidak akan menularkan penyakit tersebut. Tidak perlu kuatir berlebihan terhadap jazad korban bencana, WHO menekankan bahwa hampir semua kuman tidak sanggup bertahan hidup pada sel tubuh yang sudah mati. Karenanya jazad korban bencana, umumnya cukup aman dari potensi menularkan penyakit.

Meski demikian, ada jazad yang berbahaya untuk ditangani oleh masyarakat awam yaitu yang meninggal akibat penyakit kolera dan penyakit  menular dengan perdarahan. Penyakit kolera adalah penyakit diare yang sangat menular dan mematikan. Resiko penularan penyakit dari jazad mungkin lebih perlu ditekankan kepada petugas pengevakuasi dan penyelenggara jenazah. Mereka perlu waspada agar tidak tertular beberapa jenis penyakit jika jenazah yang ditangani adalah penderita penyakit semasa hidupnya.

Penyakit yang menurut pakar dapat menular pada petugas jenazah adalah yang pertama TBC. Penderita TBC cukup banyak di Indonesia. Penularan dari korban meninggal yang semasa hidupnya menderita TBC sebenarnya jarang terjadi, tetapi mungkin. Petugas dapat tertular TBC jika bacil TBC dalam udara yang tersisa di paru terhirup tanpa sengaja saat menangani jenazah. Kedua, kuman penyakit yang menular lewat darah seperti HIV dan hepatitis dapat pindah saat menangani jenazah baru. Cairan tubuh dan darah segar dari korban mungkin masih mengandung kuman yang masih hidup. Ketiga, penyakit saluran cerna boleh juga menular dari sisa kotoran dan saluran cerna jenazah. Penyakit ini misalnya diare dan typhus.

Meski demikian, pakar kesehatan bencana memberikan saran yang dapat dipergunakan oleh petugas evakuasi untuk mencegah penularan penyakit. Pertama, manfaatkan pelindung yang standar. Sarung tangan, masker, kaca mata, sepatu boot yang memadai harus dipakai saat bekerja. Kedua, waspada saat bersekitaran dengan cairan tubuh jenazah, kulit harus dihindarkan dari terpapar langsung dengan luka terbuka pada jazad. Lalu, jangan lupa cuci tangan dengan baik dan benar menggunakan sabun. Bersihkan dan disinfeksi peralatan yang dipakai bekerja. Ketiga, jika memungkinkan setiap petugas telah memperoleh vaksinasi tetanus dan hepatitis. Keempat, idealnya disiapkan tim support moril dan psikologis untuk membantu mendukung kekuatan moril dan spiritual petugas evakuasi sebelum dan sesudah bertugas. Dalam hal ini, ahli agama dan psikolog adalah orang yang tepat.

Penanganan jenazah dalam jumlah besar yang lebih disarankan adalah melalui pemakaman bukan dengan kremasi. Jazad yang dikumpulkan disimpan dalam kantung jenazah. Penyelenggaraan jenazah disarankan sesuai keyakinan masyarakat dan keluarga serta memakamkan pada jarak lebih dari 30 meter dari sumber air bersih.

Intinya, menurut WHO dan CDC mitos tentang potensi merebaknya penyakit akibat jenazah korban bencana tidak didukung oleh fakta yang memadai. Terkait jenazah, perhatian khusus lebih diperlukan oleh petugas yang secara langsung menangani jazad korban.  Penularan penyakit terbukti sangat minimal dari aspek jenazah. Berbagai sumber ilmiah menyebutkan aspek terpenting yang meningkatkan resiko penyakit menular pasca bencana alam bukanlah jenazah korban yang belum terevakuasi sempurna tetapi lebih pada rusaknya keteraturan dalam masyarakat dalam skala luas dan dalam tempo singkat sehingga mengubah penduduk menjadi pengungsi. Penularan penyakit dan kematian pasca bencana lebih ditentukan oleh kelangkaan air bersih dan fasilitas sanitasi,  tingkat keramaian pengungsi, penyakit yang biasa dijumpai di masyarakat sebelum bencana, daya tahan tubuh penduduk, kurang gizi, dan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan.(*)

 

dr. Nurhira Abdul Kadir, MPH

Penulis adalah mahasiswa program PhD pada School of Health and Society, the University of Wollongong, Australia dan dosen pada Prodi Pendidikan Dokter FKIK UIN Alauddin Makassar.