Bahas Aturan Pemakzulan Presiden, Yusril Ihza Mahendra Jadi Penguji Disertasi Kandidat Doktoral UMI
MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Pakar Ilmu Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menjadi penguji disertasi Fahri Bachmid, SH.,MH, Promovendus ujian promosi doktoral di Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Jalan Urip Sumiharjo, Selasa (5/3/2019).
Fachri mendapat nilai cumlaude sangat memuaskan dengan judul disertase “Hakikat Putusan Mahkamah Konstitusi atas Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Usai menguji disertasi Fachri, Yusril mengaku, memang sudah ada beberapa disertasi terkait dengan pamakzulan Presiden dan Wakil Presiden. “Tapi yang ditulis oleh pak Fachri ini lebih spesifik, itu mengenai peran dari Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan pasal 7A dan pasal 7B di Undang-undang 1945 bahwa Presiden itu dapat dimaksuldkan,” kata Yusril.
Dia menjelaskan beberapa hal penyebab sehingga Presiden dan Wakil Presiden bisa diadili kemudian dimakzulkan, diantaranya pidana korupsi, pengkhianatan terhadap negara dan melakukan perbuatan tercela.
“Dari disertase ini (Fachri) dapat dilihat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu final pada ini, tapi eksekusinya itu diserahkan kepada MPR, apakah mau menindaklanjuti apa yang telah diputuskan oleh MK,” ujar Yusril.
Hanya saja kata Yusril, aturan mengadili Presiden dan Wakil Presiden masih perlu untuk disempurnakan dan diperjelas, khususnya rumusan konstitusi yang dinilai kabur serta aturan-aturan yang belum lengkap.
“Saya kira dia (Fachri) melakukan study yang cukup penting untuk mendalami masalah ini. Sekalipun masih banyak hal-hal yang belum terselesaikan, misalnya kalau Presiden itu sudah diadili oleh Mahkama Konstitusi dan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, nah apakah dapat diadili lagi di pengadilan pidana. Belum jelas betul,” tandasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Fachri mengakui bahwa belum ada aturan kuat secara spesifik untuk mengadili Presiden dan Wakil Presiden. Meski pada prinsipnya, sudah ada aturannya dalam Undang-undang Dasar 1945, ketentu pasal 24C ayat 2 dan ketentuan pasal 7A dan 7B.
“Cuma dalam temuan saya itu tidak cukup, karena aturan Undang-undang dasar 1945 masih sangat mendasar yah. Tidak operasional gitu kan, sehingga butuh aturan-aturan tekhnis yang dapat mengikat lembaga Negara, semisal DPR, MPR dan MK itu sendiri,” kata Fachri.
Aturan tekhnis yang tentang cara MK mengatur mengadili pendapat DPR, kata dia, cuma diatur setingkat peraturan MK nomor 21 tahun 2009, tentang tata cara menyelesaikan pendapat DPR. “Pedoman untuk mengatur pendapat DPR itu tidak cukup, payung hukum atau bentuk hukum yang diatur dalam PMK itu menurut saya tidak cukup, namun harus diatur setingkat Undang-undang,” tuturnya.
Dia mengatakan bahwa memang perlu segera diterbitkan Undang-undang Hukum Acara tentang pemberhentian Presiden atau impeachment. Dijelaskan Fachri bahwa saat pembentukan MK memang hanya membutuhkan waktu 2 tahun setelah aturan diundangkan, sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan pengkajian lebih dalam.
“Makanya saat ini sudah cukup waktu untuk memikirkan tentang bagaimana merancang atau mendesain sebuah Undang-undang Hukum Acara tentang pemberhentian Presiden. Mumpung belum ada terjadi penberhentian. Sekarang kalau misalnya pertanyaan secara akontrario misalkan suatu ketika Presiden diberhentikan, apakah kita cukup siap dengan perangkat hukum yang ada? Itu tidak cukup,” tandasnya.(*)