#Pilpres 2019
Setelah JK Siapa?
MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Sebentar lagi masa jabatan HM Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI akan berakhir. Masyarakat Sulawesi Selatan tentu dituntut untuk mencari tokoh yang bisa melanjutkan pengaruh JK dikancah nasional.
“Setelah JK siapa?” Kalimat ini menjadi tema diskusi yang menghadirkan 3 narasumber di salah satu kedai di Jalan Pelita Raya, Sabtu (30/3/2019).
Mereka adalah akademisi UIN Alauddin Makassar Firdaus Muhammad, akademisi Unhas Aswar Hasan dan Direktur Eksekutif Jenggala Center Syamsuddin Radjab.
Dalam pemaparannya, Firdaus Muhammad mengatakan, jika rujukannya adalah kepribadian JK, maka sangat sulit tergantikan. Dia menjelaskan, bahwa JK menjadi tokoh berpengaruh melalui proses yang pajang. Selain itu, menurut Firdaus pengaruh biologis juga tidak terlepas dari pengaruh orang tuanya Haji Kalla yang merupakan pengusaha sukses dan tokoh politik Nahdatul Ulama di masanya.
“JK menjadikan dia sempurnah karena anaknya Aji Kalla. Tentu secara biologis tentu dipengaruhi pak Aji Kalla, kemudian bisnis dan usahanya dilanjutkan pak Jusu Kalla. Pak JK punya banyak saudara, tapi tidak kita lihat seperti pak JK. Pak JK menjadi aktivis pada moment yang tepat sekaligus memiliki kesedaran bernegara yang tinggi,” kata Firdaus.
Menurut Firdaus ada dua bentuk kepribadian JK yang membentuk karakternya sebagai negarawan. Pertama JK indentik dengan politik perdamaian. Hal ini kata dia, bisa kita lihat JK yang bisa mendamaikan konflik daerah, juga manuver politiknya tidak memakan korban.
“Dua hal ini menjadi wacana yang bisa kita dapatkan di pak JK dan tidak bisa kita gantikan. Kalau tokoh sebagai JK secara utuh sepertinya tidak bisa tergantikan, karena itu tadi berproses,” ujarnya.
Lebih jauh dia mengatakan, ada beberapa tokoh yang mulai merambah nasional memiliko potensi, meskipun pasti ada yang berbeda dengan JK secara pribadi. Mereka diantaranya adalah eks Gubernur Sulsel dua periode Syahrul Yasin Limpo, Amran Sulaiman, Nurdin Abdullah dan Abraham Samad. Hanya saja, beberapa tokoh kadang meredup ditengah proses.
“Meskipun sebagai tokoh belum bisa membayangi pak JK. Sehingga dengan demikian kita belum bisa menyebut nama yang bisa mengikuti jejak JK. Kita memang tidak bisa menciptakan tokoh, tapi harus berproses,” tandasnya.
Sementara itu, Aswar Hasan membedah tiga poin yang membentuk karakter JK dengan cara tidak instan. Pertama lahir dari latarbelakang keluarga yang sangat mendukung.
“Kedua Pak JK mengawali karir karena dari awal sudah diguidance dibimbing dengan oritentasi idealisme melalui organisasi sosial masyarakat. Misalnya aktif di HMI. Aktifnya itu dominan dan dianggap sebagai tokoh rujukan dalam menentukan kebijakan,” ujarnya.
“Bakground kedua itu terawat dengan baik, dalam sebuah habitus yang membentuk karakter. Termasuk ketika sebagai pembina ketika kepemimpinan perusahaan Haji Kalla diserahkan ke beliau. Mengalami transpormasi politik terlibat di Golkar dan menjadi utusan Golongan duduk di MPR,” ujarnya.
Berbeda dengan dua narasumber lainnya, Syamsuddin Radjab menegaskan bahwa tema dialog itu adalah cerminan perasaan masyarakat Sulsel. “Tema ini adalah tema yang kita rasakan saat ini. Secara dinamika politik ini yang kita rasakan, tidak hanya di Sulawesi Selatan,”kata dia.
Bicara berkaitan setelah JK siapa? Menurut Olleng, sapaan akrabnya tentu pada akhirnya berbicara pada figur atau orang. Hanya saja, kata dia sebagai tokoh harus memiliki rekam jejak yang bisa menjadi pertimbangan publik dalam menokohkan figur.
Hal ini dikatakan karena tidak menutup kemungkinan ada figur yang tiba-tiba menduduki jabatan strategis lalu merasa dirinya tokoh. Padahal, menurut Olleng, harus ada definisi yang membedakan antara tokoh dan pejabatpejabat negara.
“Fakta-fakta ini yang harus kita kritik. Jangan sampai ada yang tiba-tiba muncul lalu melupakan jejak, pertanyaan sederhananya, dari mana anda sampai jadi tokoh?” ujarnya.(*)