Pilpres 2019 dan Implikasinya Bagi Penegakan Hukum Lingkungan
Oleh: Maemanah
(Akademisi di UniversitasSawerigading Makassar)
Belum banyak disadari akan fungsi lingkungan yang sesungguhnya sangat penting bagi makhluk hidup di muka bumi. Manusia harus memperlakukan lingkungan secara proporsional, tidak dengan sekehendak hati yang hanya mengeruk keuntungan dari sumber daya alam yang kemudian mengganggu keseimbangan ekosistem.
Di situ terdapat arti penting konsep keadilan bagi seluruh rakyat untuk mendapatkan hak memperoleh lingkungan hidup yang baik sesuai dengan UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 25H Ayat (1).
Walaupun kekayaan sumber daya alam Indonesia telah memberi sumbangan cukup besar bagi perekonomian dan pembangunan nasional, pengelolaan dan pemanfaatannya selama ini lebih banyak menimbulkan kerusakan ekologi, degradasi lahan, ketimpangan sosial, dan bencana alam yang menggerogoti lingkungan itu sendiri.
Jika kita saksikan film “Sexy Killers”, sebuah film dokumenter produksi watchdoc_insta yang bertujuan membuka pemahaman kita tentang dampak negatifterhadaplingkunganakibatpraktekbisnistambangbatubara, dan pembangunan PLTU (yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama) di berbagai daerah di Indonesia; maka digambarkan dalam film ini bagaimana bisnis raksasa telah berdampak pada hilangnya sumber pangan warga, tercemarnya air, tanah, hutan, laut, serta menimbulkan ekskalasi kekerasan dan intimidasi yang berujung pada pelanggaran HAM. Film ini juga coba menjelaskan bagaimana posisi aktor (Oligark) yang berada di belakang bisnis tambang batu bara dalam Pilpres 2019.
Laporan investigasi yang juga penting untuk dibaca adalah “Coalruption: Elit Politik Dalam Pusaran Bisnis Batubara”, laporan ini disusun atas kerjasama Greenpeace, JATAM, ICW, dan Auriga itumengungkap bagaimana alam Indonesia dipertaruhkan dalam pertarungan politik yang kotor.
Laporan tersebut berpendapat bahwa korporasi batu bara berperan besar dalam Pilpres 2019. Ketergantungan mesin politik terhadap dana dan bisnis batu bara mengakibatkan tersanderanya alam Indonesia, di dalam laporan itu juga diuraikan bagaimana penerbitan izin tambang batu bara penuh dengan siasat dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan beberapa kepala daerah terseret kasus korupsi.
Selain itu, dalam buku berjudul “Di Balik Krisis Ekosistem” yang merupakan hasil karya pemikiran Profesor Hariadi Kartodihardjo sebagai salah satu guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) disampaikan bahwa fakta lapangan yang terungkap cukup mencengangkan adalah bahwa hak penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang diamanatkan oleh konstitusi secara de facto ternyata tidak dipegang oleh negara ataupun pemerintah pusat dan pemerintah daerah, melainkan banyak dikuasai oleh jaringan institusi-institusi ekstra-legal dengan pelbagai jenispelaku. Dalamkenyataannya, institusi resmi negara yang bersandar pada kekuatan hukum telah digantikan oleh institusi ekstra-legal tersebut yang perannya lebih menentukan pelaksanaan kebijakan dan peraturan pemerintah yang sah.
Di satu sisi, hal tersebut bisa dan sudah sering terjadi karena lemahnya hukum dan peraturan perundangan. Di sisi lain, karena kuatnya posisi para pendukung institusi ekstra-legal – yang melaui jaringan pengaruh modal, kekuasaan, ketokohan, informasi, pengetahuan, dan sebagainya- berhasil mempertahankan kelemahan peraturan dan memelihara kebobrokan aparat negara agar mereka dapat terus menerus “merampok” ratusan triliun rupiah kekayaan negara dari sumber daya alam yang hilang setiap tahun karena tidak berfungsinya aparat negara.
Berbagai persoalan mendasar di atas perlu segera diperbaiki, baik melalui penegakan hukum lingkungan, hingga transformasi dunia pendidikan agar sensitif terhadap perlindungan ekologi.
Adapun beberapa strategi yang dapat ditempuh, antara lain dengan pembaruan hukum dan kebijakan yang tidak hanya dalam konteks perumusan aturan perundang-undangan dan kebijakan melainkan juga bagaimana mendayagunakan pengadilan untuk upaya pembaruan tersebut. Di sini peran ahli lingkungan sangat penting dalam mendukung penegakan hukum untuk mengusut kasus lingkungan, karena kasus-kasus kejahatan lingkungan memiliki corak dan model yang berbeda dengan kasus-kasus hukum konvensional. Untuk membuktikannya maka pelibatan ahli dalam persidangan dinilai sangat penting.
Tantangan yang dihadapi ialah keterbatasan jumlah ahli lingkungan dan belakangan muncul gugatan balik dari perusahaan pelanggar hukum seperti yang dialami ahli kehutanan IPB Bambang Hero Saharjo, yang digugat PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) karena kesaksiannya di persidangan dalam kasus pembakaran lahan.Maka harus ada Peraturan Menteri untuk perlindungan para pembela lingkungan termasuk saksi ahli.
Strategi selanjutnya adalah pengawalan penegakan hukum yang berkeadilan. Pada situasi itu,posisi penegakan hukum menjadi sangat rumit mengingat keberadaannya amat bergantung pada berbagai produk hukum dan peraturan yang ada, yang belum tentu netral.
Terkait Pilpres 2019, koordinator JATAM, Merah Johansyah mengatakan bahwa pesta demokrasi lima tahunan ini hanya menjadi ajang merebut kekuasaan serta mengumpul kekayaan dimana kesempatan ini dimanfaatkan oleh pebisnis batu bara melakukan ijon politik untuk mendapatkan jaminan melanggengkan usaha mereka. Namun demikian, pengawalan terhadap penegakan hukum lingkungan agar berkeadilan adalah sangat penting sehingga diperlukan adanya kapasitas, integritas, dan koordinasi para aparat penegak hukum serta political will dari pemerintah.
Berbagai strategi di atas memang tidak mudah untuk dijalankan, karena itu diperlukan berbagai upaya untuk mengonsolidasikan kekuatan perubahan, di antaranya pengembangan jaringan melalui individu antar -aktor, melakukan tekanan baik oleh institusi negara sebagai bagian dari kekuatan check and balance hubungan antar institusi, seperti KPK, PPATK, Komnas HAM, dan melakukan pengawasan dari unsur masyarakat sipil.
Sebagai catatan akhir, siapapun yang nanti terpilih dalam kontestasi Pilpres 2019, punya “pekerjaan rumah” untukberani menuntaskan masalah lingkungan di Indonesia lebih dari sekedar janji kampanye politik. Adanya kepemimpinan yang memiliki integritas, diharapkan dapat melakukan perubahan kebijakan dan penataan birokrasi untuk mendukung agenda perubahan itu sendiri.(*)