Tambang Pasir Laut dan Proyek Makassar New Port, Nelayan Tradisional Terancam Sengsara
MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Tambang pasir laut dan reklamasi pesisir berlangsung di Kota Makassar. Ini merupakan sumber bencana sosio-ekologis di pesisir dan laut Sulawesi Selatan (Sulsel).
Pernyataan tersebut disampaikan Staf Advokasi WALHI Sulsel, Riski Saputra saat konferensi pers via Zoom dengan nelayan tradisional di Makassar. Ia menyebut, Boskalis sebagai kontraktor tambang pasir laut, merupakan aktor salah satu utama bisnis dekstruktif ini.
Tambang pasir laut jilid pertama (2017-2018) telah menimbulkan dampak kerusakan luar biasa bagi lingkungan pesisir. Hingga berimbas pada kondisi sosial-ekonomi nelayan Galesong Raya.
“Bukannya meminta Boskalis untuk melakukan pemulihan lingkungan, pemerintah baik pusat maupun provinsi justru membuka ruang tambang pasir laut baru bagi Boskalis untuk kembali mengeruk pasir laut di wilayah tangkap nelayan Sulawesi Selatan,” kata Riski, Jumat (19/6/2020).
Sejak tanggal 13 Februari lalu, Kapal Boskalis, Queen of Netherland yang memiliki kapasitas 33.423 Gross Ton (GT) mulai melakukan penambangan pasir laut di perairan Bonemalonjo. Riski mengatakan pasir laut hasil tambang ini digunakan untuk keperluan reklamasi Makassar New Port tahap II.
“Dalam sehari, kapal Boskalis melakukan tiga kali penambangan (3 ret kapal),” ungkapnya.
Kata dia, lokasi penambangan Boskalis berada di wilayah tangkap nelayan Galesong dan Kepulauan Sangkarang. Nelayan memberinya nama Coppong Lompo, Coppong Caddi, Bonemalonjo, dan Pungangrong. Pemberian nama lokal ini menunjukkan betapa kuatnya relasi nelayan dengan wilayah tangkapnya.
“Selain itu, ini juga merupakan tanda bahwa di lautan yang begitu luas, ada daerah tertentu yang dijadikan wilayah tangkap andalan karena kelimpahan sumber daya ikannya,” terangnya.
Olehnya itu, ia mengatakan penambangan Boskalis di wilayah yang menjadi sumber penghidupan nelayan merupakan bentuk penghancuran ruang hidup. Tak ayal apabila mengancam keberlanjutan nelayan di Sulsel.
Sejak penambangan dilakukan, kata dia, nelayan Pulau Kodingareng Lompo dan Galesong mulai merasakan dampaknya. Air laut di sekitar wilayah penambangan menjadi keruh. Kekeruhan membuat hasil tangkapan nelayan berkurang drastis, terutama nelayan-nelayan yang mencari ikan tenggiri dan nelayan rawe yang mencari ikan-ikan karang.
Sedangkan di Pulau Kodingareng Lompo, hampir semua dari 950 nelayan yang tercatat di Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel merupakan nelayan pencari ikan tenggiri. Hasil tangkapannya menurun setelah adanya aktivitas tambang Boskalis.
“Di bulan April hingga Agustus, biasanya hasil tangkap ikan tenggiri meningkat, bisa sampai enam ekor bahkan lebih. Namun di tahun ini situasinya berbeda, aktivitas tambang Boskalis membuat nelayan kesulitan mendapat hasil tangkapan, maksimal hanya dua ekor ikan tenggiri per hari,” ungkapnya.
Riski menilai penderitaan nelayan pencari ikan tenggiri semakin bertambah. Seiring dengan adanya pandemi Corona atau Covid-19 yang membuat harga ikan tenggiri turun drastis.
“Bukannya menjalankan instrumen HAM pada bisnisnya, Boskalis justru melakukan upaya intimidasi terhadap nelayan Pulau Kodingareng Lompo. Boskalis melaporkan dua nelayan kepada pihak kepolisian dengan tuduhan mengancam atau menghalangi kapal tambang mereka,” paparnya.
Padahal, justru sebaliknya, Boskalis tidak pernah memberikan penghormatan terhadap hak nelayan yang notabene sejak lama merupakan subyek utama pengelola wilayah perairan Bonemalonjo.
Boskalis juga tidak pernah melakukan konsultasi publik dan meminta persetujuan dari nelayan yang bergantung hidup dari lokasi penambangannya.
Situasi serupa juga terjadi di lokasi reklamasi Makassar New Port (MNP). Di lokasi proyek, terdapat lima komunitas nelayan tradisional yang masing-masing terbagi dan menetap di Kelurahan Tallo, Kalukubodoa, Cambayya, Buloa, dan Gusung.
“Hampir semua komunitas nelayan mencari ikan, kepiting rajungan dan kerang (tude) pada lokasi yang saat ini telah dan sedang direklamasi,” tegasnya.
Ia mengatakan sejak awal pembangunan, PT. Pelindo IV tidak pernah melakukan konsultasi publik yang bermakna dengan komunitas nelayan pesisir Kota Makassar. Komunitas nelayan pesisir sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari proyek MNP.
Sebaliknya, nelayan justru mengalami kerugian ekonomi karena kehilangan wilayah tangkap (tude) dan akses melaut yang terganggu karena aktivitas pembangunan MNP.
Ia menyebut tanpa konsultasi publik yang bermakna dan penghormatan terhadap hak nelayan sebagai subyek utama pengelola pesisir dan laut, kegiatan reklamasi MNP dan tambang pasir laut hanya menimbulkan konflik berkepanjangan antara komunitas nelayan dengan PT. Pelindo IV, Boskalis, dan pemerintah.
“Serta pemiskinan bagi keluarga nelayan terkhusus perempuan dan anak-anak,” ungkapnya.
Berangkat dari situasi faktual tersebut, WALHI Sulsel menuntut dengan tegas:
1. Boskalis agar menghentikan aktivitas tambang pasir laut Sulsel, khususnya di wilayah tangkap nelayan.
2. Boskalis untuk tidak melakukan upaya intimidasi dan kriminalisasi terhadap nelayan lokal-tradisional.
3. PT. Pelindo IV untuk menghentikan proyek reklamasi dan pembangunan MNP tahap II dan segera melakukan konsultasi publik yang bermakna dengan seluruh komunitas nelayan pesisir Kota Makassar.
4. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menghentikan proyek tambang pasir laut dan mendesak Boskalis segera melakukan pemulihan lingkungan di sepanjang pesisir Galesong yang terdampak tambang pasir laut jilid pertama.
5. Kementerian BUMN dan LHK untuk menghentikan proyek reklamasi Makassar Newport dan mendesak PT. Pelindo untuk melakukan pemulihan hak nelayan pesisir Kota Makassar yang hilang akibat pembangunan Makassar New Port.
6. Komnas HAM untuk turun langsung menyelidiki praktek-praktek pelanggaran hak asasi manusia dalam aktivitas tambang pasir laut dan proyek MNP yang sangat berdampak bagi kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi nelayan.(*)