Proyek Makassar New Port

Akibat Keberadaan Kapal Penambang Pasir Laut, Nasib Nelayan Tradisional Kian Terancam

Selasa, 23 Juni 2020 | 19:50 Wita - Editor: Dilla Bahar - Reporter: Agung Eka - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Masyarakat nelayan tradisional di Kota Makassar terancam kehilangan mata pencaharian. Kebijakan pemerintah dianggap tak acuh dalam memperhatikan masa depan mereka.

Salah satunya yang dialami Nelayan Kaluku Bodoa, Amir. Sejak pembangunan Makassar New Port (MNP), ia harus menempuh perjalanan jauh sebab daerah tangkapan ikan yang biasa ia tempati menjadi keruh akibat penambangan pasir laut. 

pt-vale-indonesia

“Selama ada pembangunan MNP banyak nelayan beralih profesi seperti menjadi kuli bangunan. Hampir sudah tak ada lagi nelayan di sini,” ujarnya, Senin (22/06/2020).

Ia mengaku kesulitan menangkap ikan lantaran akses daerah tangkapan ikan semakin jauh. Sedangkan kapal tradisional memiliki batas jelajah. Amir mengatakan, saat ini, mata pencarian di laut semakin sempit.

“Sebelumnya hanya menghabiskan 1 liter solar. Sekarang membutuhkan sekitar 5 liter solar karena akses semakin jauh,” keluhnya.

Amir pun bercerita, sebelum ada pembangunan, nelayan tradisional mampu menghidupi diri mereka. Bahkan, tanpa bantuan dari pemerintah sekalipun.

“Kami hanya minta ganti rugi untuk semua nelayan tradisional yang kena dampak pembangunan tersebut,” ungkapnya.

Nelayan Pulau Kodingareng Lompo, Hamka mengeluhkan hal serupa. Akibat kondisi laut yang keruh dan tercemar, pendapatannya merosot, bahkan sering kali pulang dengan tangan kosong.

“Kalau kapal Boskalis pengeruk pasir keluar, kita di rumah. Percuma keluar,” katanya.

Sebelumnya, Hamka mampu menampung hasil tangkapan ikan hingga jutaan. Saat ini, hanya mampu menampung ratusan saja.

Hamka pernah berniat mengirim surat kepada presiden, ia hendak menyampaikan agar kapal pengeruk tambang pasir tersebut bergeser lebih jauh keluar. 

“Wilayah pemancingan kami airnya keruh, kalau jernih ada sedikit ikan yang bisa diambil,” kata dia.

Ia mengatakan bulan Juli hingga Oktober puncak ikan tenggiri. Namun, saat ini, ia kesulitan untuk turun melaut karena kapal pengeruk tambang mengeruhkan lautan wilayah tangkap nelayan.

Hamka pun mempertanyakan Undang-Undang yang melarang merusak tempat ikan. “Apakah Undang-Undang sudah terbalik,” protesnya.

Sementara, Nelayan Pesisir Tallo, Andi mengatakan, para nelayan tradisional pernah melakukan protes terhadap kapal Boskalis yang menambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan. Ia pernah menunjukkan gambar kepada pihak pengembang proyek MNP untuk tak menggangu titik-titik tangkap nelayan. 

Andi mengatakan, pihaknya tak menuntut pihak Makassar New Port terhadap wilayah yang sudah terlanjur melakukan penambangan pasir laut. 

“Tak boleh ada lagi tambah-tambah. Jangan coba-coba lagi menimbun. Kita menuntut pemulihan hak. Setelah itu dia menimbun malam lagi, bukan siang,” ungkapnya.

Ia mengatakan kapal Boskalis melakukan pengerukan dan penimbunan yang menyebabkan air laut di wilayah tangkap nelayan menjadi keruh. “Jaring kita pun hilang di ambil kapal. Kondisi ini sangat merugikan nelayan,” ungkapnya.

Di sisi lain, Andi mengatakan selama pandemi Corona atau Covid-19, jumlah nelayan justru meningkat. Ia mengatakan nelayan tradisional semakin susah namun justru semakin bertambah.

“Susah cari uang di darat, kendala di Tallo, banyak PHK, jadi bertambah nelayan, mereka pergi memancing dan mencari kerang,” pungkasnya.

Lain lagi dengan Amir, Nelayan Kaluku Bodoa yang harus berhenti melaut sementara waktu lantaran menabrak pelampung besi yang memuat informasi tentang pembangunan Makassar New Port yang terletak tidak jauh dari lokasi proyek. 

Insiden tersebut terjadi sewaktu Amir pulang melaut pada malam hari. Akibatnya, lambung kapal bagian bawah retak dan kemasukan air. 

“Tidak ada tanda lampu-lampu kedipnya, ongkos perbaikan keseluruhan sekitar 10 juta karena mau kuperbaiki full. Percuma kalau saya perbaiki sedikit karena kalau turun melaut lagi pasti rusak lagi,” kata dia.

Imbasnya, Amir harus merelakan kapalnya tenggelam dan mencari pertolongan lantaran tak bisa berjaga sepanjang waktu. 

“Baru tadi di kasih naik, dibantu sama teman-teman yang lain,” tuturnya.

Amir mengatakan ia tak sendirian, beberapa teman nelayan lain juga menabrak pelampung besi lantaran tak memiliki tanda. 

“Baling-baling teman patah dan harganya berkisar 4 jutaan. Sudah adami 4 nelayan yang menabrak pelampung besi karena tak ada lampu kedipnya,” ungkapnya.

Pada tahun 2011 hingga 2014, Amir dan nelayan lain sudah mampu hidup mandiri. Hingga melakukan perbaikan rumah sendiri tanpa bantuan dari pemerintah.

Hal itu berbeda dengan kondisi saat ini, Amir mengatakan pendapatan menurun drastis. Ia mengatakan kebanyakan nelayan hidup dalam lilitan utang.

“Dulu pendapatan bisa sampai jutaan, sekarang paling tinggi 3 ratus ribu, rata-rata 100 hingga 200 ribu,” ungkapnya.

Seharusnya, kata dia, pembangunan tersebut mengutamakan keselamatan nelayan sekitar. Ia mengatakan tapi insiden ini justru membuktikan bahwa proyek tersebut mengabaikan keselamatan nelayan. 

“Belum lagi mempertimbangkan kerugian ekonomi dan lingkungan yang nelayan harus ditanggung akibat proyek tersebut,” pungkasnya. (*)


BACA JUGA