Berlanjut, LBH Sebut Ada Upaya Kriminalisasi di Kasus Nelayan Kodingareng
MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Kepolisian Daerah (Polda) Sulsel memastikan kasus hukum nelayan Pulau Kodingareng, Manre terus berlanjut. Perihal perobekan uang kertas yang dilakukannya kini masih dalam proses pemeriksaan.
Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Ibrahim Tompo menjelaskan penyidik telah melakukan proses hukum. Sesuai tupoksi, pihaknya melakukan serangkaian gelar perkara kasus perobekan uang.
Adapun gelar perkara tersebut dipimpin langsung oleh dua divisi Polda. Ialah Dir Polairut dan Dir Krimum Polda Sulsel.
Dari gelar perkara tersebut, para penyidik meyakini perbuatan oknum nelayan tersebut terindikasi melanggar hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011, Pasal 25 ayat (1) yang mengatakan, setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan atau mengubah rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol negara akan mendapatkan sanksi pidana.
“Perbuatan tersangka kasus perusakan uang tersebut, sebagai hal yang tidak tepat dalam bersikap. Karena permasalahan lain yang ditimbulkannya sehingga berakibat permasalahan hukum bagi yang bersangkutan,” katanya, Senin (17/8/2020).
Ia menyatakan bahwa kasus perobekan uang kertas ini merupakan perbuatan pribadi. Lalu harus juga dipertanggung jawabkan oleh pelaku secara pribadi.
“Jadi kami imbau agar masyarakat melihat kondisi ini dengan sportif dan juga kami harap dalam kasus ini, masyarakat jangan terpengaruh oleh bujuk rayu dan provokasi kelompok tertentu yang mau memperkeruh suasana dengan menjadikan masyarakat sebagai tameng kepentingan mereka,” ungkap Ibrahim.
Terpisah, Kepala Divisi Tanah dan Lingkungan LBH Kota Makassar, Edy Kurniawan justru menilai Polda keliru. Ini apabila menyatakan kasus Manre merupakan kasus individu.
“Pengerobekan amplop pada tanggal 16 Juli harus dilihat dari awal rangkaian peristiwanya,” kata Edy.
Menurutnya, peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri. Tidak serta merta Manre melihat amplop dan langsung merobek.
“Perlu digali motifnya, kenapa sampai dirobek itu amplop? darimana itu amplop?,” tanyanya.
Sebelum terjadi peristiwa itu, Edy mengatakan masyarakat nelayan sudah aktif melakukan kegiatan penolakan tambang Boskalis. Mulai dari menghadang kapal, demo di kantor Gubernur Sulsel dan aksi di Makassar New Port (MNP).
Edy pun bercerita kasus tersebut bermula saat pihak Boskalis mengajak 4 nelayan untuk survei lokasi titik tambang. Sepulang dari itu, salah seorang nelayan diberi amplop yang masih tersegel.
Menurut keterangan nelayan, Edy mengatakan nelayan tak mengetahui isi amplop tersebut.
“Apakah uang, cek, atau dollar. Dia tidak tahu apa isinya itu amplop. Yang mereka tahu itu hanya ganti rugi dari Boskalis karena nelayan tidak melaut,” katanya.
Lanjut Edy, kasus perobekan amplop terjadi saat nelayan berkumpul. Salah seorang nelayan yang menerima amplop tersebut meletakkan ke tanah dengan kondisi masih tersegel.
“Catatannya, amplop masih tersegel, ratusan masyarakat berteriak robek itu amplop dengan bahasa Makassar. Itu sebagai simbol masyarakat menolak sogokan dari Boskalis,” ungkapnya.
Akhirnya, Manre maju lantaran terbawa suasana dan emosi untuk merobek amplop tersebut. Setelah merobek, dirinya meletakkan kembali ke tanah dan kembali ke tempat duduknya semula.
Tak berselang beberapa lama, seorang nelayan datang menyampaikan bahwa amplop yang dirobek tersebut isinya uang. Saat itu, Manre baru menyadari bahwa amplop tersebut berisi uang.
“Manre tidak melihat itu uang, pertanyaannya betulkah uang itu yang dia robek (barang bukti), jangan sampai uang lain dia ambilkan,” kata Edy.
Untuk itu, perlu uji forensik untuk membuktikan apakah ada sidik jari Manre. Hal itu untuk membuktikan Manre merobek uang yang menjadi barang bukti. Bahkan, soal penyataan Polda yang menyebut Manre merendahkan rupiah, kata Edy, tak masuk akal.
“Pak Manre tidak mengetahui isinya itu uang, Pak Manre juga tidak punya niat jahat untuk merendahkan uang. Mereka hanya mempertahankan wilayah tangkap nelayan mereka. Hanya mempertahankan hidup mereka,” ungkapnya.
Pasal UU Mata Uang, menurut Edy, dikenakan untuk kejahatan mata uang yang memang ada niat jahatnya. Ada niat untuk merendahkan mata uang rupiah.
Misalnya, kejahatan pemalsuan uang dan itu selalu disertai dengan kejahatan lain. Seperti pencucian uang, human trafficking, dan korupsi.
“Kejahatan tersebut sangat luar biasa, sementara Manre, kata Edy, sama sekali tak punya niat merendahkan rupiah,” ungkapnya.
“Mereka hanya menolak wilayah tangkap mereka dirusak. Sekali lagi ini kriminalisasi. Ini pasal dipaksakan,” sambungnya.
Edy mengatakan, Polda Sulsel seharusnya menyelesaikan kasus tersebut. Pihaknya diminta menggunakan pendekatan restoratif justice.
“Ini kan negara yang dirugikan, berdasarkan laporan A (internal kepolisian), harusnya bila Polda punya itikad baik, seharusnya duduk bersama. Betulkah Manre punya niat jahat?” ungkapnya.
“Di saat mereka butuh uang masa mereka mau robek uang. Sudah kehilangan pendapatan selama 6 bulan, tidak ada ikan, butuh uang belanja, butuh kue,” katanya.
Ia menegaskan hal Ini tak bisa diterima akal sehat. Selain itu, pasal 35 Ayat 1 UU Mata Uang tersebut merupakan pasal pertama yang digunakan di Indonesia.
“Baru pertama kali, penyidiknya pun mengakui, kenapa? Karena selama ini UU Mata Uang diperuntukkan untuk kejahatan yang luar biasa,”
Edy menegaskan kasus Manre bukan kejahatan, dia hanya mempertahankan ruang hidupnya. Ia pun meminta Polda Sulsel menghentikan upaya kriminalisasi terhadap Manre agar nelayan dapat kembali tenang.
Selain itu, ia berharap Polda Sulsel menerapkan keadilan substansi yang memulihkan hak-hak nelayan. Namun bila Polda tetap ngotot memproses Manre, Edy mengaku akan menghadapi di pengadilan.
“Kita siapkan bukti, termasuk kita akan lakukan upaya praperadilan, tetapi sejauh ini kita akan upayakan penangguhan penanganan,” kata dia.
Edy mengatakan, saat ini, pihaknya akan meminta penangguhan penanganan terhadap Manre dengan berbagai pertimbangan, yakni Manre sebagai tulang punggung keluarga.
“Kalau ditahan, kehilangan penghasilan istri dan anaknya, anaknya putus sekolah. Pak Manre tak mungkin melarikan diri karena jelas rumahnya. Tidak juga menghilangkan barang bukti karena sudah disita,” paparnya.
Selain itu, Manre tak akan melakukannya tindakan serupa. Terakhir, Edy menyebut saat ini situasi Covid-19, di saat banyak tahanan dilepas dan ditangguhkan. Justru Manre malah ditangkap.
“Hari kemerdekaan dia ditangkap dengan berbagai pertimbangan. Setidaknya kalau tidak ada upaya Polda untuk menghentikan maka sudah seharusnya ditangguhkan penahanannya,” tutupnya.(*)