Akademisi IPB Beber Produksi Beras 2018 Hingga 2021 Naik, Kinerja Pertanian Memuaskan

Jumat, 10 September 2021 | 22:24 Wita - Editor: Andi Nita Purnama -

JAKARTA, GOSULSEL.COM — Upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi beras melalui berbagai program terobosan tercatat memberikan hasil yang memuaskan. Mengacu data BPS, terjadi surplus beras dari tahun ke tahun, yakni produksi di 2018 menghasilkan surplus beras 4,37 juta ton, 2019 surplus 2,38 juta ton dan 2020 surplus 1,97 juta ton.

Bahkan BPS pun memprediksi, pada musim tanam (MT) I pada bulan Oktober-Maret 2020/2021 ini terjadi surplus lebih dari 3 juta ton. Pada MT-II April-September 2021 juga terjadi panen pada Juli-Desember 2021, sehingga akhir Desember 2021 juga tetap surplus secara signifikan.

pt-vale-indonesia

“Data BPS mencatat sejak 2019 hingga September 2021 tidak ada impor beras umum. Produksi beras tiap tahun sejak 2018 hingga 2021 selalu surplus. Bahkan 2021 sudah mulai ekspor beras premium. Artinya perberasan Indonesia semakin membaik dan ketahanan pangan semakin kuat,” demikian diungkapkan Akademisi IPB, Prima Gandhi di Bogor, Jumat (10/9/2021).

Dosen Program Studi Manajemen Agribisnis Sekolah Vokasi IPB ini menambahkan berdasarkan data BPS, sejak 2017 tidak ada rekomendasi impor jagung pakan ternak. Trend menunjukan produksi mencukupi kebutuhan pakan, bahkan sekarang sudah mulai memasok jagung rendah aflatoksin bahan baku industri makanan minuman dan sudah mulai ekspor.

“Oleh karena itu, mengenai kegiatan ekspor impor pangan, dalam pasar global dan semakin terbuka itu ekspor dan impor adalah wajar, bukan hal yang tabu. Sebab semua negara saling mengisi dan saling membutuhkan. Yang terpenting adalah prinsip ekspor pertanian harus lebih besar dibandingkan impor alias neraca perdagangan mesti surplus,” bebernya.

“Dan itu terbukti neraca perdagangan tahun 2020 surplus. BPS mencatat, surplus neraca perdagangan total sektor pertanian 2020 sebesar Rp165,4 triliun diperoleh dari nilai ekspor Rp 450,7 triliun dan impor Rp 285,4 triliun,” pinta Prima Gandhi.

Di sisi lain, Prima Gandhi pun menjelaskan dalam hal tata kelola, Indonesia merupakan negara besar ke empat setelah China, Amerika dan India. Berbeda dengan negara lain, Indonesia ini adalah negara kepulauan sehingga yang dibutuhkan adalah sistem stok logistik dan distribusi yang mampu menjaga pasokan dan harga.

“Ini diharapkan mampu meredam dinamika harga akibat sifat tanaman musiman dan keragaman potensi sumberdaya wilayah. Ingat harga naik atau turun itu bukan penyebab, tetapi sebagai akibat,” jelasnya.

Menurutnya, setidaknya ada tujuh faktor pembentuk harga baik berasal dari faktor internal maupun eksternal. Faktor pembentuk harga di farm gate berbeda dengan di pasar atau konsumen. Ini faktor pembentuk harga sebagai penyebab yang mesti diselesaikan.

“Diperlukan orkestra lintas kementerian/lembaga dengan prinsip imam dan makmun sesuai tugas dan fungsi masing masing terkait stabilisasi harga. Itu sudah ada leading kementerian yang bertugas menangani harga dan impor,” terang Prima Gandhi.

*Pertanian Bantalan Pertumbuhan Ekonomi*

Lebih lanjut Prima Gandhi menegaskan ketahanan pangan Indonesia sudah teruji tangguh saat musibah pandemi Covid 19 ini. Faktanya dengan mengacu data BPS, indikator pertumbuhan PDB pertanian selalu tumbuh positif yakni 1,75% di tahun 2020, ekspor pertanian juga sepanjang 2020 tumbuh 15,79 % dan NTP 2020 juga naik 0,74% dibanding 2019.

“Sektor pertanian berhasil menjadi bantalan pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid 19. Untuk itu, dari kinerja pertanian ini buat apa mengungkit kinerja masa lalu, lebih baik fokus memperbaiki saat ini dan mengakselerasi program ke depan. Hari esok hari lebih baik dari hari ini,” tuturnya.

“Tetap semangat dan optimis dengan kemampuan yang ada, kita pasti bisa. Program 2020-2024 mewujudkan pertanian yang maju, mandiri dan modern patut kita support, sehingga ketahanan pangan semakin kuat dan petani semakin sejahtera,” sambung Prima Gandhi.(*)


BACA JUGA