Direktur Utama PT DAU, Drajat Winanjar saat ditemui di PTUN Makassar, Rabu (26/01/2022)/Ist

Kontrak Proyek Pasar Tempe Diputus Sepihak, PT Delima Layangkan Gugatan ke PTUN

Rabu, 26 Januari 2022 | 22:47 Wita - Editor: Andi Nita Purnama - Reporter: Agung Eka - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL.COM — PT Delima Agung Utama (DAU) kini melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Makassar. Pihaknya pun telah menjalani sidang perdana pada hari ini, Rabu (26/01/2022).

Langkah hukum itu diambil setelah pihaknya merasa kecewa. Sebab, Penjabat Pembuat Komitmen (PPK) Sarana Strategis memutus kontrak kerja proyek pembangunan Pasar Tempe, Kabupaten Wajo itu secara sepihak.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Utama PT DAU, Drajat Winanjar. Kata dia, upaya hukum sudah harus ditempuh mengingat kontraknya diputus secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan.

“Surat peringatan pertama, kedua dan ketiga itu tidak ada. Ini yang kami herankan, harusnya kan ada peringatan dulu. Ini kok tiba-tiba langsung pemutusan kontrak. Kami merasa terdzolimi,” kata Drajat.

Adapun gugatan itu juga ditujukan ke beberapa pihak. Diantaranya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Direktorat Jenderal Cipta Karya Balai Prasarana Pemukiman Wilayah Sulsel, dan Satuan Kerja Pelaksana Prasarana Permukiman Wilayah II Sulsel.

Derajat juga bercerita, setelah pemutusan kontrak kerja itu, pihaknya telah menyampaikan persoalan tersebut ke Bupati Wajo, Amran Mahmud. Bupati saat itu juga mendengar apa yang menjadi keresahan DAU.

“Saya menghadap bupati terkait pemberhentian kontrak. Saya menyampaikan akan menempuh jalur hukum dan meminta objek sengketa tidak disentuh sampai sudah ada putusan inkrah,” tegasnya.

Pemutusan kontrak itu akan memberikan dampak sosial. Dengan mangkraknya pembangunan proyek Pasar Tempe, para pedagang dipastikan tidak punya tempat menjual yang layak.

“Yang rugi masyarakat Wajo. Sekarang tidak ada pengerjaan disana. Makin lama menikmati bangunan pasar tempe,” tambahnya.

Proyek pembangunan pasar tempe sebelumnya digadang-gadang menjadi percontohan pasar modern di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sayangnya, kata dia, hal itu tidak sejalan dengan rancangan milik PU namun tetap diminta membangun dengan konsep Bangunan Gedung Hijau (BGH).

“Setahun kemudian ternyata kontrak yang saya tanda tangani pada saat di claro itu belum memuat konsep BGH ini, padahal tugas sayakan melaksanakan kontrak,” jelasnya.

“Kalau saya tutup mata, tutup telinga kacamata kuda saya hanya mengerjakan bangunan biasa, ini sebetulnya PU juga melakukan kesalahan secara administrasi,” lanjut Drajat.

Terakhir, ia menegaskan gugatan akan terus berlanjut. Sebab, terakhir dia, nasib perusahaannya kian mengkhawatirkan akibat pemutusan kontrak secara sepihak itu.

“Ini bencana bagi saya, karena kalau diputuksan kontrak saya bisa di blacklist pak,” tandas Drajat.(*)