Ahli hukum administrasi negara, Marojahan JS Panjaitan usai sidang lanjutan kasus pemutusan kontrak sepihak perusahaan pengerja proyek Pasar Tempe, Kabupaten Wajo oleh Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, Rabu (13/04/2022)/Ist

Kontrak Proyek Pasar Tempe Dinilai Putus Tanpa Prosedur Pemeriksaan Berimplikasi Hukum

Rabu, 13 April 2022 | 22:41 Wita - Editor: Andi Nita Purnama - Reporter: Agung Eka - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL.COM — Ahli hukum administrasi negara, Marojahan JS Panjaitan akhirnya memberikan pandangannya. Itu dalam sidang lanjutan kasus pemutusan kontrak sepihak perusahaan pengerja proyek Pasar Tempe, Kabupaten Wajo oleh Ditjen Cipta Karya Kementrian PUPR.

Dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung itu menilai, persoalan kontrak adalah merupakan keputusan tata usaha negara. Di mana setiap keputusan haruslah mengikuti prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga dalam hal pemutusan kontrak.

pt-vale-indonesia

Juga, menurutnya, kontrak yang tidak lain adalah keputusan Tata Usaha Negara, maka pemutusan kontrak sudah seharusnya dilakukan dengan prosedur pemeriksaan. Agar menghindari kesewenang-wenangan.

“Jadi yang saya mau jelaskan bahwa terbitnya kontrak itu tidak serta merta diterbitkan. Begitu juga pemutusan kontrak. Karena tata usaha negara itu selalu bicara prosedur. Maka tentunya pemutusan kontrak juga harus melalui prosedur,” ujarnya, Rabu (13/04/2022).

Menurutnya, jika kemudian pemutusan dilakukan tanpa melalui proses pemeriksaan, klarifikasi pada pihak. Maka keputusan itu bisa disebut tidak memiliki keabsahan dan besar kemungkinan melanggar hukum.

Sementara itu Direktur PT Delima Agung Utama, Drajat Winanjar, angkat suara. Ia ikut menganggapi pandangan dan pendapat ahli tersebut merupakan pandangan yang objektif.

“Benar yang dikatakan ahli. Kontrak itu timbul karena ada SPPPBJ yang mana adalah keputusan tata usaha negara. Kalau kita tidak dapat itu, tidak mungkin kita dapat kontrak. Nah sekarang masalahnya adalah pemutusan kontrak kami oleh Balai Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, yang mana pemutusan itu tidak dilakukan seperti yang dijelaskan ahli. Saya tidak dipanggil dan diperiksa,” ujarnya.

“Saya tidak dipanggil, saya hanya dikirimi surat rencana pemutusan kontrak. Dan 14 hari kemudian tanpa dipanggil, langsung dilakukan pemutusan kontrak,” ujarnya.

Lebih jauh terkait alasan pemutusan kontrak yang dilakukan oleh pihak PPK dari Balai Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, kata Drajat Winanjar adalah akibat dari adanya temuan hasil audit ADTT oleh Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR. Namun yang disesalkan karena itu tidak diklarifikasi secara langsung.

Olehnya, ia berharap Majelis hakim dapat menjadikan pendapat ahli ini sebagai pertimbangan dalam memutuskan perkara ini. Dan mengharapkan keadilan sebab pemutusan kontrak yang dilakukan tersebut jelas menimbulkan kerugian dan terkesan diskriminatif.(*)