Praktisi CSR dan Pemerhati Pertambangan Berkelanjutan, Muh. Rudi Rumengan/Ist

Kontrak Karya PT Vale Indonesia, Dipersoalkan Lagi

Jumat, 16 September 2022 | 19:47 Wita - Editor: Andi Nita Purnama - Reporter: Agung Eka - Gosulsel.com

LUWU TIMUR, GOSULSEL.COM – PT Vale Indonesia (Vale), salah satu perusahaan multinasional dalam pertambangan Nikel yang terintegrasi, memang selalu menarik diikuti perkembangannya. Beberapa bulan ini kita ikuti bagaimana manajemen Vale sangat serius untuk ekspansi, melalui kerjasama dengan beberapa perusahaan asing untuk membangun smelter di site Morowali Sulteng dan site Pomalaa Sultra.

Namun, tiba-tiba ada berita penolakan perpanjangan kontrak karya PT Vale Indonesia Tbk yang disuarakan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Andi Sudirman Sulaiman, bersama Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi dan Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Rusdy Mastura dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sekjen dan Plh. Dirjen Minerba Kementerian ESDM RI di depan Rapat Panja Vale Komisi VII DPR RI di Ruang Rapat Komisi VII DPR RI, Jakarta, Kamis (08/09/2022) lalu.

Dari berita yang beredar, ketiga Gubernur tersebut menilai kontribusi Vale selama ini masih kecil termasuk dalam lingkungan hidup, pendapatan daerah, dan lainnya sehingga mereka meminta konsesi lahan Vale sebaiknya dikembalikan kepada BUMD Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing. Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman, berkomitmen dan bertekad untuk mengambil alih lahan bekas tambang PT. Vale Indonesia, Tbk yang sudah direklamasi perusahaan di Blok Sorowako, Luwu Timur serta meminta lahan Kontrak Karya yang akan berakhir di tahun 2025 tidak diperpanjang. Jika konsesi lahan Vale dapat dikelola oleh BUMD, maka akan leboh dikontrol untuk kesejahteraan masyarakat.

Anggota Panja dari partai PDIP dari Dapil Sulawesi Selatan, Andi Ridwan Wittiri (ARW), pun meminta perpanjangan kontrak karya PT Vale Indonesia dikaji dengan baik. Terlebih selama ini, pemerintah dan warga setempat tak banyak menikmati manfaat. “Di sinilah saatnya, apakah memungkinkan tidak diperpanjang atau diciutkan sisanya untuk BUMN atau BUMD,” sebutnya dilansir fajar.co.id.

Kontrak Karya dan Aturan Baru Pertambangan Indonesia

Berdasarkan dokumen Kontrak Karya PT Vale Indonesia yang diperbarui pada 17 Oktober 2014 dan berlaku hingga 28 Desember 2025, lahan konsesi yang dimiliki Vale seluas 118.017 hektare, yang mencakup tiga provinsi yaitu Sulawesi Selatan (70.566 hektare), Sulawesi Tengah (22.699 hektare) dan Sulawesi Tenggara (24.752 hektare).

Rezim perijinan petambangan sesuai UU no 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara sudah tidak menggunakan Kontrak Karya lagi tapi akan berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Vale, sebagai kontraktor pemerintah dalam mengelola SDA Nikel tentu berharap ijinnya dapat diperpanjang dengan sejumlah pertimbangan, diantaranya penerapan Good Mining Practices atau praktik pengelolaan tambang yang baik dari sisi safety, lingkungan dan sosial; koservasi mineral sehingga SDA yang ada dapat dikelola dengan optimal; kontribusi langsung dan tidak langsung kepada pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten; kontribusi kepada masyarakat sekitar melalui implementasi CSR atau dalam hal ini Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).

Vale juga mempunyai komitmen yang tinggi untuk memenuhi semua kewajiban yang diamanatkan pemerintah. Termasuk menyetor sebesar Rp7,8 Triliun dalam 5 tahun terakhir meliputi pembayaran PPh, PNBP, pajak daerah dan lainnya (www.cnbcindonesia.com)

Dari sisi pemerintah daerah, dalam hal ini Provinsi Sulsel dan Kabupaten Luwu Timur (Lutim), juga berharap agar sebagian lahan kontrak karya diciutkan dan dapat dikelola langsung oleh Perusda Sulsel dan BUMD Lutim. Semangatnya adalah dengan dikelola langsung, akan lebih meningkatkan manfaat untuk pemerintah daerah dan masyarakat.

Perusda dan BUMD sepertinya akan bekerjasama dengan pengusaha nasional atau Sulsel untuk mengolah lahan tersebut. Pemerintah Pusat, yang diwakili oleh Kementerian ESDM, sebagai regulator tentu akan mempertimbangkan dengan baik sebelum mengambil keputusan apakah akan memperpanjang ijin IUPK Vale untuk keseluruhan wilayah Kontrak Karya atau sebagian akan diciutkan untuk dikelola oleh pihak lain. Namun yang perlu dipahami bahwa aturan UU no 3 tahun 2020 tentang Minerba, pasal 169A memberikan jaminan kepada pemegang Kontrak Karya dan PKP2B untuk perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan setelah memenuhi persyaratan.

Jaminan ini menjadi salah satu syarat pada saat renegosiasi untuk amandemen kontrak karya beberapa tahun lalu. Pemerintah pusat juga perlu menjaga iklim investasi dan komitmen kepada investor yang telah dibangun selama ini. Berdasarkan hal diatas, Vale Indonesia akan mendapat perpanjangan ijin IUPK untuk 2×10 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1×10 tahun lagi, sesuai aturan dalam UU Minerba yang baru.

Opsi untuk pemerintah daerah Sulsel dan Lutim

Menurut penulis, dibanding menolak perpanjangan ijin Vale Indonesia yang sebenarnya sudah dijamin UU, sebaiknya pemerintah provinsi Sulsel dan Pemkab Lutim fokus pada tiga hal. Pertama, mengusahakan agar pemerintah daerah mendapat Porsi Saham di Vale Indonesia. Komposisi pemagang saham PT Vale Indonesia terdiri atas Vale Canada Limited sebesar 44,3 %, MIND ID sebanyak 20 %, Sumitomo Metal Mining 15 %, dan publik sebesar 20 %. Sesuai dengan aturan UU Minerba yang mewajibkan divestasi saham dengan minimal 51 % untuk pemegang saham Indonesia, masih tersisa sekitar 11 % yang harus didivestasikan PT Vale sebelum berakhir kontrak karya di tahun 2025.

Perusda Sulsel dan BUMD Lutim dapat membentuk perusahaan patungan untuk membeli saham Vale sesuai dengan harga pasar saham yang berlaku pada saat transaksi, persentasenya tentu sesuai kemampuan keuangan pemerintah provinsi dan kabupaten. Analisis sederhana, saat perusahaan Mining Industry Indonesia (MIND ID) di tahun 2020 lalu membeli 20% saham Vale sebagai kewajiban divestasi tahap pertama, valuasi saham Vale (INCO) sebesar Rp2980/saham, MIND ID harus mengeluarkan uang sekitar Rp5,5 Triliun. Berarti apabila memakai harga saham tahun 2020, harga 11% sisa saham yang wajib didivestasikan tersebut bernilai 2,25 Triliun lebih. Melirik harga saham Vale (INCO) saat ini, 12/9/2022 sudah mencapai Rp6.750/saham. Artinya, butuh dana lebih dari Rp5 Triliun untuk mencaplok 10% saham tersebut. Nilai yang sangat besar dibanding kemampuan keuangan daerah Sulsel dan Lutim. Tapi skema pembelian dapat diatur, tentu tidak harus menggunakan dana APBD yang akan mengorbankan rencana pembangunan daerah, tapi dapat memakai skema kerjasama dengan beberapa pihak.

Kedua, mengusahakan lahan eks Vale yang sudah diciutkan di tahun 2014 yang sampai saat ini sebagian blok belum dikelola. Perlu dicatat, bukan lahan yang sudah direklamasi sesuai pernyataan Gubernur Sulsel, karena lahan reklamasi punya aturan tersendiri untuk pemanfaatannya dan masih terkait dengan pasca tambang. Adapun total eks lahan Vale yang dikembalikan kepada pemerintah mencapai 72.074,66 ha, kurang lebih sekitar 30.000 Ha di wilayah Luwu Timur Sulsel yaitu Blok Pongkeru, Blok Bulubalang, dan Blok Lingke Utara. Pengembalian tersebut berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam amandemen Kontrak Karya (KK) Vale yang diteken pada Oktober 2014. Dalam amandemen tersebut, Vale sepakat untuk mengurangi wilayahnya dari 190.510 ha menjadi 118.435 ha. Informasi yang didapatkan, rencana hanya 30.309,48 ha yang akan ditetapkan statusnya menjadi delapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk dikelola kembali melalui lelang dengan urutan prioritas BUMN, BUMD dan Swasta Nasional. Sementara sisanya masih berstatus wilayah pencadangan negara (WPN). Lahan eks Vale tersebut yang sebaiknya diusahakan oleh pemerintah Provinsi Sulsel dan Pemkab Lutim untuk dikelola melalui perusahaan patungan BUMD dan investor lokal. Namun, proses untuk mendapatkan persetujuan pengelolaan lahan tersebut prosesnya juga rumit karena WIUPK yang akan dilelang dibahas di DPR RI untuk menentukan pengelolanya.

Tidak perlu menolak perpanjangan kontrak karya PT Vale, karena lahan yang bisa dikelola oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sudah diluar ijin Vale saat ini. Kecuali, penolakan tersebut sebagai bargaining ke pemerintah pusat agar lahan eks Vale tersebut dapat diprioritaskan ijinnya untuk Perusda dan BUMD.

Ketiga, mendorong Vale Indonesia untuk menerapkan pengelolaan tambang yang lebih baik, terutama untuk kontribusi pada daerah dan masyarakat sekitar. Hal ini untuk menjawab anggapan Gubernur bahwa kontribusi Vale masih minim. Selain kewajiban pembayaran pajak dan non pajak seperti dijelaskan diatas, beberapa kontribusi yang dapat ditingkatkan oleh Vale, diantaranya; memaksimalkan penyerapan lebih banyak tenaga kerja lokal kabupaten Luwu TImur, bukan hanya masyarakat 4 kecamatan wilayah pemberdayaan, baik melalui rekrutmen Vale maupun kontraktor-kontraktornya dengan memprioritaskan tenaga kerja lokal; meningkatkan peluang kontraktor lokal untuk menjadi mitra Vale dengan memberi diskresi kepada kontraktor lokal yang belum mampu bersaing dengan kontraktor luar/nasional; lebih meningkatkan realisasi program-program PPM nya sesuai kebutuhan utama masyarakat sekitar perusahaan dalam bidang Pendidikan, Kesehatan dan Pengembangan Ekonomi dan juga memberikan porsi yang wajar kepada masyarakat Lutim diluar ring 1, yang berada di 7 kecamatan (karena dalam aturan Kepmen ESDM 1824 tahun 2018, selain ring 1, ring 2 dan ring 3 juga berhak mendapat realisasi PPM sesuai persentase yang telah ditetapkan).

Aspirasi dari ketiga Gubernur, terutama Gubernur Sulsel, patut diapresiasi karena memperjuangkan agar pengelolaan SDA yang ada di Kabupaten Lutim dapat lebih bermanfaat untuk pemerintah dan terutama masyarakat sekitar perusahaan, bukan hanya untuk kelompok tertentu atau kepentingan investor yang ingin masuk mengelola SDA Lutim, yang belum tentu lebih baik daripada Vale.

Saran penulis untuk Pemprov Sulsel dan Pemkab Lutim terkait pilihan dari opsi diatas..”Jika tidak bisa diambil semua, setidaknya jangan lepas semua”.

Salamaki Tapada Salama’

Muh. Rudi Rumengan,
Praktisi CSR dan Pemerhati Pertambangan Berkelanjutan
Kampung halaman di Luwu Timur(*)


BACA JUGA