Beras

Akademisi UI Soroti World Bank Sebut Harga Beras Indonesia Lebih Mahal

Selasa, 20 Desember 2022 | 20:22 Wita - Editor: Andi Nita Purnama -

DEPOK, GOSULSEL.COM – Pernyataan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia (World Bank) yang mengatakan harga beras di Indonesia lebih tinggi dibanding negara Asia lainnya, serta meminta Indonesia untuk membuka dan mengurangi hambatan impor pada sektor pertanian, mendapat atensi dari akademisi Universitas Indonesia (UI).

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Riyanto mengatakan pernyataan tersebut kurang tepat dan tidak mencerminkan semangat petani yang setiap hari melakukan produksi. Baginya, kebijakan impor disaat harga beras naik bukanlah solusi dan hanya menciderai semangat petani.

“Harga beras harusnya memberikan keuntungan yang menarik buat petani tetap mau menanam padi. Jangan begitu harga beras naik, lantas hanya memberi solusi impor. Kita jangan membiarkan impor beras terbuka luas yang membuat harga jatuh lalu menyebabkan petani malas bertani. Ini keliru menurut saya,” ujar Riyanto, Selasa (20/12/2022).

Ia pun mengatakan, harga beras yang saat ini beredar masih berada pada kisaran harga normal dan masih dapat dibeli oleh masyarakat.

“Adapun faktor kenaikan yang selama ini terjadi disebabkan beberapa faktor. Di antaranya masalah distribusi dan musiman saja. Tidak bisa selesai hanya dengan impor. Jadi tidak benar harga beras kita paling mahal,” katanya.

Riyanto pun menambahkan, pengelolaan pertanian bukan hanya dibebankan pada Kementerian Pertanian saja. Namun, juga harus melibatkan lembaga dan institusi negara lainnya. Seperti melibatkan lembaga/ institusi dalam penataan jalur distribusi beras, serta melakukan pengetatan kebijakan impor beras agar harga beras petani tidak jatuh.

“Selama ini kan kita tahu banyak pedagang beras yang menggunakan kesempatan untuk menaikkan harga beras dengan menahannya di gudang. Market power pedagang sangat dominan di Indonesia. Oleh karena itu, kita harus sama-sama bereskan ini untuk kemajuan bersama. Masalah beras menjadi tanggungjawab kita bersama,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, Indonesia membuka keran impor kedelai sejak 1998, berkaitan dengan kesepakatan yang tertuang dalam letter of intent IMF. Hal itu merupakan bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Lembaga ini menuntut Indonesia membuka akses pada perdagangan bebas.

“Nah kita jangan mengulangi rekomendasi yang sama untuk beras versi World Bank. Utamanya membuka keran impor beras dan pangan lainnya secara luas. Kemandirian panganlah yang harus kita perkuat dengan peningkatan produksi dan memberi subsidi yang layak bagi petani serta proteksi terhadap komoditi pertanian agar petani punya insentif untuk berproduksi,” jelasnya.(*)


BACA JUGA