DPR Kecewa Bulog Tetap Mengimpor Beras, Ini Alasannya
JAKARTA, GOSULSEL.COMP – Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Demokrat, Suhardi Duka mengaku kecewa dengan Badan Urusan Logistik (Bulog) yang tetap mengajukan impor beras 500 ribu ton dalam memenuhi Cadangan Beras Pemerintah atau CBP. Menurut dia, langkah tersebut merupakan langkah yang salah dan sudah keluar dari misi utamanya yaitu menyelematkan petani Indonesia.
“Saya adalah orang yang paling mendukung Bulog selama ini, tapi terus terang, terakhir ini saya sangat kecewa dengan Bulog. Kenapa harus mengajukan impor beras sampai dengan 1 juta ton walaupun hanya disetujui 500 ribu ton. Saya kira Bulog sudah keluar dari misi yang sesungguhnya, yaitu ingin menyelamatkan petani,” jelas Suhardi dalam rapat kerja bersama Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Senin (16/01/2023).
Suardi mengatakan, sebelum melakukan kebijakan impor, seharusnya bulog mampu membaca situasi dan harga pasar. Dimana saat itu harga beras mencapai Rp9.500 sampai dengan Rp10.000. Namun apabila Bulog tetap memaksakan melakukan pembelian pada harga Rp8.700, maka dapat dipastikan tak ada petani atau penggiling padi yang mau menjual padi.
“Bulog hanya mampu membeli 82 sampai 83. Kenapa harga pasar naik karena harga buku naik, transportasi naik, biaya produksi petani tidak mungkin menjual dengan Rp8.200. Saya melihat bahwa Bulog sudah tidak lagi mendukung petani, tapi justru ingin mencari keuntungan dari impor beras karena harga beras di luar lebih murah. Kalau seperti ini ya saya kira semua akan terbengkalai, petani kita tidak ada lagi yang menyangga,” katanya.
Disisi lain, Suardi menyayangkan masih adanya lembaga negara yang tidak mempercayai data BPS sebagai lembaga yang diamanatkan Undang-undang untuk memberi data yang valid dan benar.
Dari data tersebut, Suardi melihat tahun 2022 produksi beras nasional mencapai 32,07 juta ton atau setara dengan 54 juta ton gabah. Menurutnya, produksi sebanyak itu sudah mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri.
“Okelah kita tidak percaya kepada data Kementerian Pertanian. Tapi tentu Undang-undang menyatakan bahwa data yang valid itu adalah dari Badan Pusat Statistik. Nah kalau kita tidak menggunakan data Badan Pusat Statistik, data apa yang kita harus percaya atau semua data yang tidak percaya?” katanya.
Suardi sendiri mengaku selama ini tetap berpedoman pada data BPS karena sebagai Satu-satunya data negara yang memiliki payung hukum jelas. “Terus terang yang saya percaya adalah data yang didukung oleh undang-undang, yaitu data Badan Pusat Statistik,” jelasnya.(*)