Jelang Pilkada 2024, Koalisi ASPIRASI Undang Bacakada Bahas Pembangunan Inklusif dan Isu Kelompok Marjinal

Sabtu, 01 Juni 2024 | 11:14 Wita - Editor: Andi Nita Purnama - Reporter: Agung Eka - Gosulsel.com

JAKARTA, GOSULSEL.COM — Koalisi Aliansi Masyarakat Sipil untuk Transparasi, Inklusi, dan Demokrasi (ASPIRASI) yang terdiri dari SETARA Institute, Perludem, TII, dan AJI menggelar dialog kebijakan di Provinsi Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, untuk menyampaikan aspirasi pembangunan inklusif dengan mengundang bakal calon kepala daerah (Bacakada) seperti gubernur, tokoh-tokoh yang potensial maju dalam Pilkada, dan beberapa figur di daerah.

Di Aceh, dialog publik tersebut dihadiri oleh Bacagub Aceh dari Partai Aceh, Muzakir Manaf, yang diwakili oleh Nurzahri selaku juru bicara Partai Aceh, M. Nasir Jamil dari Partai Keadilan Sejahtera, Darni Daud, dan Muhammad Nazar. Sedangkan di Jawa Barat, Bima Arya, Wali kota Bogor dua periode yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN), menjadi satu-satunya Bacagub yang hadir dan menunjukkan keberpihakan pada agenda pembangunan inklusif. Sementara itu di Sulawesi Selatan, dialog dihadiri oleh Samsul Rizal sebagai mantan Wakil Wali Kota Makassar yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI terpilih periode 2024-2029.

pt-vale-indonesia

Halili Hasan selaku Direktur Eksekutif SETARA Institute mengatakan SETARA Institute bersama Koalisi ASPIRASI meyakini ekosistem toleransi dan inklusi di setiap provinsi dan kabupaten/kota adalah penyangga utama pembangunan inklusi.

“Yang pada pokoknya memastikan semua kelompok masyarakat, terutama kelompok marjinal terlindungi tidak ada yang tertinggal dalam proses dan penikmat pembangunan. No one is left behind,” ujarnya, Sabtu (01/06/2024).

Untuk menumbuhkan ekosistem toleransi dan inklusi, kata dia, dibutuhkan tiga jenis kepemimpinan yang saling bersinergi, yakni kepemimpinan politik (political leadership), kepemimpinan birokrasi (bureaucratic leadership) dan kepemimpinan sosial (societal leadership) yang bekerja dengan software tata kelola pemerintahan yang inklusif (inclusive governance).

“Langkah awal membangun tata kelola pemerintahan inklusif ini dimulai dengan komitmen calon pemimpin politik, didukung oleh birokrasi dalam perencanaan pembangunan melalui pembentukan RPJMD inklusif dan aktivasi optimum elemen-elemen sosial dan masyarakat sipil sebagai pilar societal leadership,” tambahnya.

Berbagai hasil riset SETARA Institute menunjukkan masih minimnya upaya perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak kelompok marjinal. Adanya berbagai produk hukum serta tindakan hukum diskriminatif terhadap kelompok marjinal terutama minoritas SARA, ragam gender dan orientasi seksual, masyarakat adat, disabilitas, hingga perempuan menunjukkan bahwa agenda dan kebutuhan kelompok marjinal ini masih belum diketengahkan sebagai isu bersama dalam agenda pembangunan. Persoalan kurangnya transparansi serta partisipasi terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingan kelompok marjinal masih terjadi.

Lebih dari 150 pemimpin dan/atau perwakilan organisasi masyarakat sipil hadir dalam dialog kebijakan pada 29-30 Mei 2024 di Aceh, Bandung, dan Makassar yang menyampaikan aspirasi perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia, terutama pada kelompok marjinal.

Dari pemetaan masalah dan pendalaman isu dari berbagai varian kelompok marjinal, Koalisi ASPIRASI menyampaikan beberapa hal untuk dapat ditindaklanjuti bersama, di antaranya:

1. Mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas ruang-ruang dialog yang konstruktif antara kelompok marjinal dan pemerintah, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dalam pembahasan agenda-agenda pembangunan daerah terutama dalam momen penyusunan RPJMD 2025-2029 yang tahapannya telah dimulai di masing-masing daerah.
2. Mengintensifkan komunikasi dengan aktor-aktor politik untuk menyalurkan aspirasi kelompok marjinal.
3. Memperkuat sinergi dan kolaborasi seluruh elemen masyarakat sipil dan media dalam mengamplifikasi aspirasi dan kebutuhan kelompok marjinal, melalui perluasan kesempatan berpendapat dan partisipasi dalam pengambilan kebijakan.
4. Melakukan reformulasi kebijakan di tingkat regional untuk meningkatkan kepekaan serta perlindungan terhadap kepentingan kelompok marjinal.
5. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait penghapusan persepsi keliru terhadap kelompok marjinal dan menghilangkan mental block, stigma, dan stereotip dalam rangka mengakomodasi kelompok tersebut ke dalam kehidupan bermasyarakat.
6. Menganggarkan secara proporsional pembiayaan untuk pemenuhan kebutuhan kelompok marjinal serta dialokasikan secara efektif dan efisien.
7. Memperkuat peran pendidikan dalam penanaman nilai-nilai kesatuan dan kemanusiaan, sehingga kesadaran toleransi dan kesetaraan (terutama persamaan di depan hukum/equality before the law) sudah dipupuk dan dijunjung sejak dini.(*)