Ketua Umum Asperhupiki Minta Revisi UU Polri Ditunda, Ini Alasannya

Selasa, 20 Agustus 2024 | 14:53 Wita - Editor: Dilla Bahar - Reporter: Agung Eka - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL.COM — – Focus Group Discussion (FGD) Revisi UU Polri dan Dampaknya terhadap Sistem Peradilan Pidana berlangsung di Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin (Unhas), Selasa (20/08/2024).

FGD yang dibuka langsung oleh Dekan FH Unhas, Prof Hamzah Halim turut menghadirkan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Asperhupiki), Fachrizal Afandi.

pt-vale-indonesia

Dalam sambutannya, Prof Hamzah ingin FGD revisi UU Polri ini ada sumbangsih pemikiran yang benar tidak bertentangan dengan hukum acara.

“Sehingga menghasilkan aturan hukum yang ideal sebagai pedoman Kepolisian yang lebih melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum,” ujarnya.

Sementara itu, Fachrizal Afandi berpendapat banyak hal yang dibahas dalam RUU Polri saat ini yang belum diatur dalam KUHAP.

“Hal ini dapat kita lihat dalam Draft RUU Polri seperti Tambahan Kewenangan Penghentian Penyidikan dan/atau Penyelidikan (pasal 16 ayat (1) huruf j) sedangkan dalam KUHAP tidak dikenal penghentian Penyelidikan,” ujarnya.

Selanjutnya, kata dia, masalah tambahan kewenangan melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri tanpa disertai penjelasan yang ketat (pasal 16 ayat (1) huruf q).

“Seharusnya upaya upaya paksa ini dibahas dalam KUHAP bukan dalam RUU Polri dan dengan perintah pengadilan,” tambah Fachrizal.

“Tugas Polri dalam pembinaan hukum nasional (Pasal 14 angka 1 huruf e) hal ini bertentangan dengan kewenangan yang melekat pada Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham,” jelasnya.

Fachrizal Afandi menambahkan dampak RUU Polri terhadap Sistem Peradilan Pidana diantaranya; Pengangkatan penyidik PNS dan Khusus seperti Penyidik KPK, Jaksa harus mendapatkan rekomendasi dari POLRI.

“Penyidik PNS dan khusus harus mendapatkan surat pengantar dari penyidik POLRI sebelum mengirimkan berkas ke Penuntut Umum,” ujarnya.

“Potensi ketidakpaduan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan lersidangan karena aturan dibuat secara sektoral. Upaya paksa dan penghentian penyelidikan/penyidikan tanpa check and balance serta kontrol pengadilan menjadikan masyarakat terdampak sulit mendapatkan keadilan,” ucap Fachrizal.

Atas dasar poin itu, Fachrizal Afandi merekomendasikan untuk menunda revisi UU Polri yang dilakukan terburu-buru ini.

“Untuk itu perlu dilakukan pembahasan RUU Polri secara cermat Pasca pengesahan RKUHAP dan Cabut pengaturan terkait Hukum Acara Pidana dalam RUU Polri,” tukasnya.

Iftitahsari selaku Peneliti Institute For Criminal Justice Reform dalam FGD ini juga merekomendasikan agar Presiden dan DPR RI untuk menunda pembahasan RUU Polri.

“Perdalam substansi soal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) dan Komisi III DPR RI untuk memulai proses pembahasan untuk perubahan KUHAP (program legislasi nasional prioritas DPR RI 2024) khususnya terkait semua materi hukum acara dalam RUU Polri, targetkan KUHAP baru harus disahkan sebelum 2 Januari 2026 (KUHP baru mulai berlaku),” pungkasnya. (*)