PUKAT Soroti Integritas Lapas di Sulsel Pasca Marak Penyelundupan Narkoba

Rabu, 18 Juni 2025 | 21:38 Wita - Editor: adyn - Reporter: Agung Eka - Gosulsel.com

MAKASSARMETRO, GOWA – SELASA siang itu, 10 Juni 2025, langit di atas Kabupaten Gowa tampak biasa-biasa saja. Namun di pelataran Lapas Narkotika Kelas IIA Bollangi, aparat Satnarkoba Polres Gowa mencium gelagat tak lazim dari sepasang muda-mudi. Petugas menggerebek mobil mereka. Hasilnya: sabu seberat empat gram, dikemas dalam beberapa sachet, yang diduga kuat hendak diselundupkan ke dalam lapas.

Salah satu pelaku bukan orang asing bagi para penyidik: AH, 24 tahun, residivis yang baru saja menghirup udara bebas dari tempat yang sama. Ia ditangkap bersama kekasihnya, DW (26), tepat di halaman parkir. Dari sinilah awal terbongkarnya satu skema besar yang menyeret banyak tanya: mengapa dan bagaimana jaringan narkoba bisa kembali mengakar di tempat seharusnya jadi ruang rehabilitasi?

pt-vale-indonesia

“Ini bukan kejadian biasa. Ini sinyal kuat bahwa sistem di dalam lapas mungkin sudah lapuk,” ujar Farid Mamma, Direktur Pusat Kajian Advokasi Antikorupsi (PUKAT) Sulawesi Selatan, Rabu (18/6/2025).

Modus Lama, Sistem Bocor

Lima hari setelah penangkapan pertama, polisi mengembangkan kasus dan memburu jaringan lain. Di Jalan Baji Pangase, Kecamatan Mariso, Makassar, polisi menangkap pasangan lainnya: GA (21) dan RY (37). Di mobil mereka ditemukan lima gram sabu. “Masih satu jaringan,” ujar AKP Syarifuddin, Kasatresnarkoba Polres Gowa.

Total sembilan gram sabu berhasil diamankan. Tapi yang bikin aparat geleng-geleng kepala, AH ternyata bukan residivis biasa. Sudah tujuh kali ditangkap oleh polisi, enam di antaranya oleh Polres Gowa sendiri. Ia keluar masuk penjara seperti tak pernah jera. Yang lebih menggelitik, dia kembali beroperasi di lokasi yang sama hanya beberapa waktu setelah dibebaskan.

Bagi Farid Mamma, fakta ini membuka dugaan sistemik. “Ini bukan semata ulah individu. Kalau pola dan tempatnya berulang, maka kita bicara soal kemungkinan keterlibatan orang dalam,” katanya.

Konsesi Diam-diam di Balik Terali

Penyelundupan narkotika ke dalam penjara bukan barang baru. Hampir semua lapas narkotika di Indonesia pernah tercoreng kasus serupa. Tapi Bollangi memiliki rekam jejak yang tak bisa dikesampingkan. Dalam beberapa tahun terakhir, Lapas ini berulang kali dikaitkan dengan aktivitas serupa.

“Kalau hanya terjadi sekali, kita bisa anggap keteledoran. Tapi kalau berkali-kali, bahkan oleh pelaku yang sama, itu jelas bukan kebetulan,” kata Farid. Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk konsesi diam-diam—istilah yang ia pakai untuk menggambarkan adanya “ruang kompromi” antara petugas dan pelaku.

Dalam pandangan hukum, lanjut Farid, jika ditemukan adanya pembiaran sistematis atau bahkan kerja sama aktif dari aparat di dalam, maka kasus ini bisa merembet ke pelanggaran pidana oleh penyelenggara negara.

“Pasal 421 KUHP bisa diterapkan untuk menjerat pejabat yang menyalahgunakan kewenangan. Kalau ada indikasi uang bermain, itu masuk ke ranah korupsi,” tegasnya.

Dorongan Audit Independen

Farid mendesak agar Kementerian Hukum dan HAM membentuk tim audit independen untuk menyelidiki kondisi pengawasan di Lapas Bollangi. Menurutnya, audit harus mencakup alur masuk-keluar barang, pengawasan terhadap napi, dan pola komunikasi yang bisa menembus sekat-sekat jeruji.

“Residivis bisa kembali membangun jaringan hanya dalam hitungan minggu. Itu mustahil terjadi kalau sistem pengawasannya solid,” ujarnya.

PUKAT juga menyerukan reformasi sistemik di seluruh lapas narkotika. Bagi mereka, lembaga pemasyarakatan telah gagal menjalankan fungsi rehabilitasi dan justru menjadi pusat logistik baru bagi para bandar narkoba.

“Selama celah kompromi masih ada, maka lapas hanya akan jadi tempat transit sementara. Jangan heran kalau kita menangkap pelaku yang sama untuk kesekian kalinya,” ucap Farid.

Penjara yang Tak Lagi Mengurung

Kini, empat tersangka telah mendekam di balik jeruji—ironisnya, dua di antaranya di tempat yang sama mereka coba selundupkan sabu. Mereka dijerat dengan Pasal 114 dan Pasal 112 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ancaman hukumannya lebih dari lima tahun penjara.

Namun bagi publik, penangkapan itu tak menyelesaikan masalah. Yang lebih penting bukan soal berapa gram sabu berhasil diamankan, tapi bagaimana sistem bisa terus gagal menghentikan sirkulasi barang haram itu di tempat yang seharusnya menjadi ujung tombak pemberantasan.

“Yang bocor bukan hanya pagar, tapi integritasnya,” kata Farid menutup pembicaraan. (*)

Tags:

BACA JUGA