QRIS, Buat Hidup Masyarakat Semakin Sederhana di Era Digital

Selasa, 24 Juni 2025 | 11:45 Wita - Editor: adyn - Reporter: Agung Eka - Gosulsel.com

MAKASSAR, GOSULSEL.COM – Gaya hidup masyarakat di desa maupun perkotaan sudah mengalami pergeseran di era digital saat ini.

Kalau dulu masyarakat mengandalkan transaksi dengan uang tunai atau yang dulunya hanya barter barang sekarang mereka mulai berbelanja cukup membawa smartphone.

pt-vale-indonesia

Pengalaman bertransaksi yang semakin mudah itu dimulai sejak Bank Indonesia (BI) menghadirkan Quick Response Code Indonesian Standard alias QRIS. Inovasi ini mendorong masyarakat melakukan pembayaran digital dengan memindai kode QR melalui aplikasi mobile banking atau dompet digital (e-wallet).

Namun sebelum masyarakat bergantung pada QRIS, inovasi ini tidak begitu populer sejak diluncurkan oleh Bank Indonesia pada 17 Agustus 2019, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia. Masyarakat saat itu nyatanya masih lebih menyukai transaksi lewat uang tunai.

Seiring berjalannya waktu, QRIS baru mulai dimanfaatkan sebagai solusi pembayaran yang andal sejak Covid-19 menyerang pada 2 Maret 2025. Situasi yang mengharuskan masyarakat harus beralih ke transaksi digital demi menghindari kontak fisik yang berujung penularan virus tersebut.

Ibarat kepompong menjadi kupu-kupu, QRIS butuh proses untuk dikenal luas oleh masyarakat. Di saat Covid-19 merebak, hanya segelintir toko dan pasar yang menerapkan pembayaran digital itu. Masyarakat apalagi yang berada di pedesaan masih awam dengan QRIS, kurangnya literasi keuangan jadi masalahnya.

Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah contoh salah satu provinsi dengan indeksi literasi keuangan yang masih tergolong rendah pada tahun 2022.

Menurut hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) pada tahun 2022, menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan di Sulawesi Selatan hanya sebesar 36,88 persen. Angkanya belum mencapai target nasional yaitu 49,66 persen.

Sebaliknya, indeks inklusi keuangan di Sulawesi Selatan telah mencapai 88,57 persen, melebihi dari capaian nasional sebesar 85,10 persen.

Merujuk pada data tersebut, artinya Sulawesi Selatan terutama di pedesaan sudah memiliki akses terhadap layanan keuangan formal yang terjangkau dan berkualitas, salah satunya QRIS. Namun sayangnya masyarakat belum paham cara memanfaatkannya.

Peran Bank Indonesia, GenBI, dan Pemerintah

Sebagai pencetus solusi pembayaran digital melalui QRIS, Bank Indonesia punya peran penting untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat agar semakin banyak yang memanfaatkannya dalam bertransaksi.

Sejatinya peran utamanya ada di Ororitas Jasa Keuangan (OJK) karena fungsi utama lembaga tersebut adalah mengawas perilaku pelaku usaha jasa keuangan, edukasi, dan pelindungan konsumen.

Sementara itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia punya fungsi utama menjaga stabilitas nilai Rupiah dan stabilitas sistem keuangan. BI memiliki tiga pilar utama yaitu kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan. 

Meski begitu, kehadiran QRIS mendorong Bank Indonesia berkontribusi meningkatkan literasi keuangan kepada masyarakat. Sejumlah langkah progresif telah dilakukan, salah satunya dengan menggandeng pemerintah kota Makassar.

Kepala Perwakilan BI Sulsel, Rizki Ernadi Wimanda menekankan, edukasi literasi keuangan mesti dibarengi dengan promosi transaksi nontunai dengan pemanfaatan QRIS. Dengan begitu, manfaat QRIS bisa dirasakan bagi masyarakat, khususnya bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Kami membutuhkan sinergi yang kuat dengan Pemerintah Kota Makassar untuk memperluas sosialisasi mengenai literasi keuangan, termasuk bahaya pinjol dan judol yang dapat berdampak buruk terhadap kondisi keuangan masyarakat,” ucap Rizki saat bertemu Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin pada 10 Maret 2025.

Kampanye pemanfaatan QRIS juga dilakukan oleh Generasi Baru Indonesia (GenBI), sebuah komunitas yang berisi mahasiswa penerima beasiswa dari BI di berbagai perguruan tinggi Indonesia.

Ketua GenBI Wilayah Sulsel, Josafat Togap H Sinaga mengatakan, kegiatan edukasi gencar dilakukan sampai sekarang. Sasaran utamanya adalah masyarakat di pedesaan yang terpencil.

Menurut Josafat, tantangan terbesar di pedesaan adalah masyarakat yang masih belum percaya terhadap pembayaran digital. Padahal, sebagian besar dari mereka telah menggunakan smartphone.

“Ketidakpercayaan terhadap sistem keuangan formal, terutama di daerah yang masih kuat dengan ekonomi tradisional,” ujarnya saat dihubungi via direct message Instagram, Sabtu 7 Juni 2025.

Selain itu, menurut mahasiswa Universitas Hasanuddin itu, kendala bahasa sering terjadi. Mayoritas masyarakat terkhusus ibu-ibu di pedesaan lebih fasih menggunakan bahasa lokal, misalnya bahasa Makassar di wilayah Kabupaten Gowa dan Jeneponto.

“Namun, kami percaya bahwa dengan pendekatan yang tepat, edukasi bisa sampai dan diterima secara perlahan namun efektif,” ucapnya.

QRIS Dorong Wujudkan Smart Citizen yang Melek Ekonomi

QRIS membawa perubahan besar bagi masyarakat di era digital. Hidup semakin simpel dengan alat pembayaran yang lebih praktis, tanpa perlu dompet cukup berbekal smartphone untuk melakukan transaksi.

Bank Indonesia mencatat volume transaksi QRIS sudah mencapai 78 juta transaksi atau tumbuh 171 persen secara tahunan (yoy). Sementara itu, nominal transaksi QRIS mencapai Rp10,3 triliun, yang tumbuh sebesar 174 persen yoy.

Adapun jumlah pengguna QRIS di Sulsel juga meningkat, yakni sebanyak 35.272 orang pada Triwulan IV 2024. 

Namun, apakah mereka yang sudah menggunakan QRIS layak disebut smart citizen? Hal itu belum sepenuhnya benar.

Meski masyarakat sudah dapat memanfaatkan teknologi seperti QRIS, nyatanya smart citizen juga harus melek ekonomi. Artinya, literasi mereka mengenai investasi, suku bunga, inflasi, dan nilai tukar masih minim.

Masyarakat yang melek ekonomi sebagian besar bisa dijumpai di perkotaan. Di pedesaan, hanya segelintir orang yang paham.

Kondisi itu tercermin melalui hasil SNLIK terbaru tahun 2025, di mana wilayah pedesaan hanya mencatatkan indeks literasi keuangan sebesar 59,60, terpaut jauh dibandingkan perkotaan yang sudah mencapai 70,89 persen.

Untuk inklusi keuangan, perkotaan mencapai 83,61 persen, sementara perdesaan 75,70 persen.

Olehnya, Pengamat Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Makassar Sutardjo Tui, menyarankan edukasi literasi keuangan digelar minimal sekali tiap pekan di pedesaan.

“Karena mungkin di pedesaan mereka punya handphone, tapi belum paham pakai QRIS hanya pakai ATM, dan edukasi perbankan juga kurang di daerah-daerah makanya harus digalakkan lagi,” ujarnya saat dihubungi via WhatsApp, Sabtu 21 Juni 2025.

Sutardjo melihat QRIS sebagai pemantik bagi masyarakat untuk lebih melek ekonomi dan menujukkan mereka sudah adaptif terhadap perubahan. Namun hal tersebut perlu dibarengi dengan edukasi literasi keuangan jika ingin disebut smart citizen.

“Tapi saya melihat QRIS masih bagus ke depannya. Bisa melampaui Visa,” tandasnya. (*)


BACA JUGA