
Negeri “Slewang”, Ketika Pintu Masuk Neraka Bernama Kantor Pelayanan
Cerpen oleh: Muhammad Yusuf
Di sebuah sudut dunia yang tak banyak disebut dalam peta, berdirilah negeri kecil bernama “Slewang”. Negeri ini terkenal, bukan karena kemakmurannya, bukan pula karena peradabannya, tetapi karena satu hal yang begitu lekat: “birokrasinya yang bejat”.

Di Slewang, hampir setiap sudut kantor pemerintahan adalah sarang pungli, dan hampir setiap meja pegawai menyimpan dua hal: “stempel dan amplop tebal”. Di sana, peraturan hanya hidup di atas kertas, sementara praktik yang berjalan ditentukan oleh tebalnya “uang pelicin”.
Pintu Masuk Neraka Bernama Kantor Pelayanan
Bayangkan seorang pedagang tua bernama Pak Imron, ingin mengurus persetujuan membangun gubuk (PMG). Ia datang dengan niat baik dan dokumen lengkap. Tapi begitu tiba di kantor pelayanan menata bangunan, ia langsung dicegat:
“Lengkap, Pak? Wah… kalau tanpa surat ‘rekomendasi’, bisa lama sekali prosesnya,” kata seorang pegawai sambil menyelipkan kode dengan lirikan kearah amplop.
Pak Imron, yang hanya membawa uang cukup untuk ongkos pulang, hanya bisa mengangguk lemah. Ia sadar, “this is Slewang”, hukum adalah barang dagangan.
Kolusi: Warisan Turun-Temurun
Tak hanya korupsi kecil, Slewang dikuasai oleh jejaring kolusi yang merajalela dari generasi ke generasi. Kepala dinas melindungi bawahannya yang nakal, asal setoran bulanan lancar dan rahasia pastinya tetap dijaga. Proyek-proyek infrastruktur yang harusnya membangun lorong-lorong kampung, justru mengisi rekening pribadi para pejabat dan kroni-kroninya.
Pembangunan “dase-dasere” di kampung Ronda Baru, misalnya. Anggarannya Rp3 miliar, tapi yang jadi hanya papan, gamacca dari bambu, dengan plang mewah bertuliskan: “Diresmikan oleh penguasa Slewang.” Ketika warga protes, staf-staf kantor pelayanan hanya berkata,
“Semua ini sudah ‘diamankan’ sampai ke atas plafon.”
Rakyat yang Lelah Menjadi Sapi Perah
Tak hanya proyek dan layanan publik, izin usaha, surat pindah sekolah, bahkan akta kelahiran pun butuh “uang rokok”. Para warga Slewang hidup dalam ketakutan yang samar—bukan karena senjata, tapi karena ketergantungan mereka terhadap birokrasi yang mencengkeram.
“Kalau tidak menyuap, kita bisa dipersulit,” kata Bu Teno, seorang janda yang berjualan di pinggir jalan, setelah dagangannya disita karena tak mampu memperlihatkan bukti surat kepemilikan atas tanah yang di klaimnya.
Kebenaran yang Terkubur
Di Slewang, semua orang tahu praktik busuk itu ada, tapi tak banyak yang berani menyentuhnya. Karena di negeri ini, “kekuasaan bukan untuk melayani”, melainkan untuk memeras dan mempertahankan kedudukan. Gerbang neraka itu memang sektor pelayanan.
Namun, Harapan Tak Pernah Mati
Meski dikepung gelap, api kecil tetap menyala. Seorang pemuda lorong-lorong pasar, bernama Buyung, bertekad memulai perubahan. Bersama beberapa warga yang muak, ia membentuk gerakan perlawanan untuk Slewang Bersih. Ia mendokumentasikan praktik-praktik kolusi dan menyebarkannya secara massif. Menggemakan suara rakyat secara perlahan.
Tapi jalan mereka tak mudah. Mereka dicibir, diintimidasi, bahkan dituduh sebagai pembangkang. Tapi satu hal yang Buyung dan kawan-kawannya percaya:
“Jika kebenaran terus dibungkam, maka keadilan hanya akan jadi mitos. Dan kami tidak ingin anak-anak kami hidup dalam mitos.”
Slewang masih gelap. Tapi cahaya kecil itu telah menyala. Dan jika cukup banyak orang yang menyalakan api di hatinya, mungkin suatu hari nanti, Slewang akan terbakar dan tak lagi dikenal sebagai negeri korup, melainkan negeri yang bangkit dari kubangan busuknya sendiri.(*)