
Jenis Lisensi Musik dan Aturan Baru Royalti: Menjaga Hak Pencipta di Era Digital
JAKARTA, GOSULSEL.COM – Pemerintah melalui Peraturan Menteri Hukum Nomor 27 Tahun 2025 menegaskan kembali kewajiban pembayaran royalti bagi setiap pemanfaatan lagu dan/atau musik dalam layanan publik yang bersifat komersial.
Aturan ini memperkuat sistem pengelolaan royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dengan dukungan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), sehingga hak para pencipta, musisi, dan penerbit musik lebih terjamin.

Menurut Adi Adrian, President Director Wahana Musik Indonesia (WAMI), aturan ini hadir untuk menyesuaikan dinamika industri musik yang kini banyak bersinggungan dengan ruang digital.
“Lisensi musik tidak hanya mencakup konser atau kafe, tapi juga platform digital dan media sosial. Dengan Permenkum 27/2025, alur pembayaran royalti menjadi lebih jelas dan transparan,” ujar Adi Adrian pada IP Talks di IP Xpose Indonesia pada 16 Agustus 2025 di SMESCO Indonesia, Jakarta.
Namun, apa saja sih lisensi yang harus dimiliki para pengusaha jika ingin memutar musik di ruang publik komersial?
Marcel Siahaan, Kepala Direktorat Hukum PAPPRI, menekankan bahwa lisensi adalah instrumen pelindungan hak cipta, bukan sekadar kewajiban administratif.
“Kita ingin mengubah paradigma masyarakat: menggunakan musik secara komersial berarti juga menghargai hak pencipta. Dengan aturan baru, semua pihak di industri musik bisa mendapatkan haknya sekaligus menjaga ekosistemnya berkelanjutan,” ungkap Marcel.
Jenis lisensi musik sendiri terbagi menjadi tiga bentuk utama. Pertama, lisensi pertunjukan publik (performing rights), yang berlaku pada konser, restoran, hotel, pusat hiburan, hingga karaoke. Kedua, lisensi siaran (broadcast licensing) untuk televisi dan radio. Ketiga, lisensi digital (digital licensing), meliputi layanan streaming, konten di platform video, hingga musik latar dalam aplikasi digital.
Data menunjukkan bahwa pengelolaan royalti musik di Indonesia terus berkembang. WAMI sebagai anggota CISAC (International Confederation of Societies of Authors and Composers) melaporkan penghimpunan royalti hingga Rp185 miliar pada 2024, dengan distribusi Rp123,6 miliar kepada lebih dari 6.000 komposer dan penerbit musik. Capaian ini diyakini akan meningkat seiring implementasi aturan terbaru.
Secara global, praktik lisensi musik juga menegaskan pentingnya kepatuhan hukum. CISAC menyoroti bahwa lisensi tidak hanya berlaku untuk konser atau restoran, melainkan juga karaoke, gym, pusat perbelanjaan, hingga layanan digital. “Penggunaan musik adalah bagian integral dari pengalaman konsumen. Karena itu, lisensi adalah mekanisme penting untuk memastikan keberlanjutan ekosistem kreatif,” jelas Benjamin Ng dari CISAC .
Tantangan baru muncul dari pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) yang dapat menghasilkan karya musik. CISAC menekankan bahwa pemakaian karya oleh AI pun wajib melalui lisensi agar pencipta tidak kehilangan hak ekonominya. Hal ini menjadi bagian penting dari penguatan regulasi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Melalui Permenkum 27/2025, pemerintah bersama LMKN dan LMK menegaskan komitmen melindungi hak-hak pelaku musik. Masyarakat, pelaku usaha, dan platform digital diharapkan memahami bahwa membayar royalti adalah bentuk nyata menghormati karya dan menjaga keberlangsungan industri musik Indonesia.
Sebagai informasi, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum tengah merevisi Undang-undang Hak Cipta untuk mengatur lebih lanjut tentang penggunaan AI dan pelindungannya.
Menanggapi implementasi Permenkum 27/2025, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Sulawesi Selatan (Kakanwil Kemenkum Sulsel), Andi Basmal, menekankan pentingnya kesadaran pelaku usaha untuk menghormati hak kekayaan intelektual, terutama hak cipta musik. “Kami terus mendorong pelaku usaha untuk patuh terhadap peraturan HKI. Penggunaan musik komersial harus diimbangi dengan pembayaran royalti yang sesuai kepada pemegang hak cipta,” tegas Basmal.
Ia berharap aturan baru ini dapat meningkatkan kesadaran pelaku usaha di seluruh Indonesia, termasuk di wilayah Sulawesi Selatan yang memiliki ekosistem ekonomi kreatif yang berkembang pesat.Andi Basmal juga mengapresiasi pendekatan mediasi dalam penyelesaian sengketa royalti musik, seperti yang terjadi dalam kasus antara Mie Gacoan dan LMK SELMI yang baru-baru ini mencapai kesepakatan damai. “Kesepakatan damai antara Mie Gacoan dan LMK SELMI menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa tidak harus berujung di pengadilan. Mediasi yang melibatkan Kemenkum terbukti efektif menghasilkan solusi win-win solution,” kata Andi Basmal.
Menurutnya, penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi seperti ini patut menjadi contoh bagi pelaku usaha lainnya dalam menghadapi isu royalti musik.Lebih lanjut, Kakanwil Kemenkum Sulsel menggarisbawahi bahwa dialog dan itikad baik menjadi kunci dalam menyelesaikan persoalan hak cipta musik. “Ini membuktikan bahwa dialog dan itikad baik dapat menyelesaikan masalah hukum kompleks tanpa harus melalui proses peradilan yang panjang,” pungkas Andi Basmal. Ia optimis bahwa dengan implementasi Permenkum 27/2025 yang didukung sosialisasi intensif, ekosistem musik Indonesia akan semakin sehat dan berkelanjutan, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi para pencipta musik. (*)