Tradisi Open House, Antara Niat Mulia dan Pemujaan Kekuasaan

Rabu, 06 Juli 2016 | 19:12 Wita - Editor: Irwan Idris -

Makassar, GoSulsel.com — Tradisi Open House di hari lebaran yang menguat di jaman orde baru, masih mengakar sampai sekarang di kalangan tokoh politik, bahkan hingga ke tingkat lokal. Konsepnya sederhana. Kerabat, sahabat, dan masyarakat berbondong-bondong ke rumah pejabat dan tokoh yang menggelar ‘Open House’, untuk meminta maaf.

Di kota Makassar, beberapa pejabat publik menggelar Open House. Tujuannya mulia, tentu saja. Selain ‘memberi maaf’ kepada tetamu yang hadir, si tuan rumah juga menyediakan makanan yang sudah pasti sedap. Jika beruntung, semua tamu akan mendapat salam amplop lebaran.

pt-vale-indonesia

Namun, di balik niat baik tersebut, terselip cara berpikir feodalistik. Paham yang berorientasi pada pemujaan berlebihan bagi kalangan bangsawan berkuasa, pejabat, dan birokrat. Indra Traggono, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan, menilai bahwa open house mengubah hubungan sosial yang semestinya berkeadilan pada semua dimensi, menjadi feodalistik. “Sebagai penyakit, tradisi open house mereduksi relasi sosial yang berwatak egaliter menjadi feodalistik,” tulisnya pada kompas.com, 2013 lalu.

Ratusan hingga ribuan orang yang datang ke rumah pejabat untuk meminta maaf, menyiratkan ketundukan kolektif. Ketidakberdayaan. Meski, semua orang tahu, pejabat yang menjadi katalisator kesejahteraan belum betul-betul baik dan adil menjalankan amanah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Lalu, untuk apa ratusan hingga ribuan orang mengantri, bahkan hingga tewas terinjak, hanya sekedar untuk meminta maaf ke pejabat tersebut? Bukankah mereka yang semestinya mendatangi masyarakat, meminta maaf atas semua agenda kesejahteraan yang tak kunjung menyejahterahkan?(*)