Harga Belum Turun, Pengamat Ekonomi: Tak Sepenuhnya Kesalahan Pengusaha
Halaman 1
Makassar, GoSulsel.com – Pemerintah kembali menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) premium dan solar pada Selasa (05/01/2016). Hal itu jadi kabar gembira bagi pengguna kendaraan. Namun, penurunan yang hanya Rp 200 itu menuai banyak kontroversi. Apalagi jika dikaitkan dengan harga bahan sembako. Akibatnya, para pengusaha yang jadi tolok ukur.
Menurut pengamat ekonomi, sekaligus dosen Universitas Hasanuddin, Idrus Taba, harga bahan makanan yang tidak turun adalah salah satu hal yang dianggap kecurangan pengusaha. Jika harga BBM belum naik, barangnya sudah dikasi naik. Giliran turun BBM, mereka tidak menurunkan harga.
“Ketika BBM naik, mereka tidak hitung dan langsung menaikkan saja. Jadi kelihatan bahwa pengusaha tidak serta merta
menurunkan,” terangnya via telepon selular, Selasa (05/01/2015).
Tetapi Idrus mengakui, hal ini tak sepenuhnya jadi kesalahan pengusaha. Sebab pengusaha berusaha untuk berkakulasi.
“Jangan sampai diturunkan harganya tapi tiba-tiba naik, kan rugi,” katanya.
Halaman 2
Hal yang utama menurut Idrus adalah peran dari pemerintah yang seharusnya melakukan operasi pasar. Jangan hanya melakukan operasi pasar pada saat BBM naik. Sehingga pengaruhnya pada produksi.
Pemerintahlah yang harus disoroti, tegasnya. Hal utama untuk disoroti adalah tentang kinerjanya dari segi pengawasan dalam
pengendalian harga-harga, karena pemerintah terlihat kelimpungan terhadap harga-harga pangan.
“Seandainya BBM turun dan kemudian pengusaha juga menurunkan harga karena sudah ada biaya pengurangan terhadap produksi.
Akhirnya berdampak kepada masyarakat. Tetapi jika tidak, maka yang diuntungkan adalah masyarakat level menengah ke atas
yang menyedot banyak BBM,” klaimnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sulsel, La Tunreng, mengutarakan, agar jangan asal main tunjuk
saja kalau BBM turun, pengusaha malah disalahkan.
Halaman 3
“Ada namanya bahan baku yang bersumber dari petani, ketika diangkut maka BBM-nya turun. Tapi kan ada juga harga kemarin
yang ongkosnya tidak naik. Nah pengusaha yang mengangkut adalah distribusi kepada kami, di pabrik. Ketika sampai di gudang
saya, misalnya cokelat, cengkeh, dan hasil bumi lainnya, yang diangkat itu. Itulah yang kena BBM,” jelas La Tunreng di
waktu yang sama.
Kalau yang masing-masing di gudang saya belum naik BBM-nya. Berarti apa yang dia turunkan, itulah yang turun.
“Berarti kita bicara transportasi, setelah tiba di gudang saya. Saya punya blower untuk mengeringkan artinya BBM turun dan
ongkos produksi turun. Tapi kalau yang lain yang hanya pakai matahari itu yang tidak pakai BBM,” lanjutnya.
Seluruh bahan baku, karakternya hampir sama. Jadi secara keseluruhan bahwa ketika terjadi penurunan BBM, secara psikologis, pemilik barang dan pengangkut tidak ada yang berniat menurunkan. Sebaliknya juga, ketika naik saja sedikit, walaupun 50 rupiah naik bbm, naiknya luar biasa tingginya dengan berbagai alasan.
“Bukan pengusaha yang membuat alasan, psikologi barang, image masyarakat dijadikan moment. Dan yang terjadi kami di hulunya. Pada saat proses barang secara langsung. Berbeda dengan pengusaha aji mumpung, yaitu golongan hitam yang mempermainkan harga. Harusnya pemerintah harus tegas untuk menindaklanjuti hal seperti ini agar kami tidak terkotori oleh sikap mereka,” tukasnya.
Halaman 4
La Tunreng mengakui bahwa hal seperti itu jika pemerintah mau reweli, dari hulu ke hilir harusnya dari awal jangan
permainkan BBM.
“Kan kami sendiri yang bingung. Kalau nanti naik lagi sedikit, menggila lagi barang. Ini malah pemerintah
ngomel salahkan kami,” tutupnya.(*)