Kejati Sulsel Tahan Kepala BPN Maros Bersama 4 Rekannya
Makassar, GoSulsel.com – Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan dan Barat akhirnya melakukan penahanan terhadap Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Maros, Andi Nuzulia bersama keempat rekannya, Rabu (15/32017), pada kasus dugaan mark up dan salah bayar perluasan bandara Sultan Hasanuddin.
Didampingi oleh penasihat hukum masing-masing, Hijaz, Muchtar D, Hamka, dan Hartawan Tahir digiring ke mobil Avanza berwarna hitam dan kemudian dibawa ke Lapas Klas 1 A Kota Makassar. Sementara Nuzulia yang juga dibawa di mobil yang sama bakal menghuni Rutan Klas 1 Makassar.
Penahanan kelimanya sempat berjalan lambat. Pasalnya, dua orang diantara mereka tidak bersedia untuk menandatangai surat berita acara penahanan. Kelimanya diperiksa sejak pukul 9.00 Wita pagi dan baru berakhir pada pukul 19.00 Wita malam.
Penasihat hukum Nuzulia dan Hijaz, Muryadi Muchtar, menyebutkan kliennya enggan untuk menandatangani berkas tersebut sebab tim penyidik tak bisa memperlihatkan pelanggaran hukum yang dilakukan kliennya.
“Pada pemeriksaan mereka tidak bisa memperlihatkan unsurnya, kami tanya mana? dia bilang salah bayar,” kata Muryadi.
Iapun mengaku telah mempersiapkan pengajuan praperadilan untuk menggugat penahanan tersebut dalam waku dekat.
Bukan hanya kejaksaan, ia pun berencana untuk menggugat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang telah mengeluarkan hasil audit kerugian negara pada proses penyidikan dengan hasil audit kerugian Rp317 Milyar.
“Saya ajukan praperadilan, dan gugat hasil audit ini karena penyidik kekurangan alat bukti namun tetap ditahan,” terangnya.
Diketahui, Hijaz juga merupakan seorang kepala kantor BPN di kabupaten Wajo yang pada saat pembebasan masih menjabat di BPN Maros.
Sementara tiga lainnya terdaftar sebagai bagian dari Satuan Tugas (Satgas) Pembebasan A dan B.
Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulsel, Salahuddin membenarkan adanya penolakan penandatanganan BAP penahanan tersebut.
Meski begitu menurutnya, penolakan tersebut merupakan hak dari tersangka. Namun, penahanan tetap dianggap sah menurut hukum.
Ia menyebut penahanan didasarkan atas sejumlah poin diantaranya tupoksi yang tidak dijalankan sepenuhnya, peraturan pentanahan yang diabaikan, tidak melakukan pengawasan dengan benar, serta penerbita sejumlah dokumen pembayaran secara tiba-tiba.
“Mereka disangkakan melanggar pasal 2 dan pasal 3 UURI No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikorsebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor,” kata Salahuddin.
Iapun mempersilahkan gugatan praperadilan tersebut. Menurutnya, hal tersebut merupakan hak dari tiap tersangka
“Ada beberapa ha yang kami jadikan acuan penahanan seperti daftar nominatof yang tidak membedakan antara tanah negara dan bukan tanah negara, memang yang tentukan harga adalah orang lain, tapi daftarnya kan dari mereka (tersangka),” katanya